DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Rabu, 05 Desember 2012

HISTORIOGRAFI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN

Judul : HISTORIOGRAFI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN
Penulis : Muh Faisal
Diterbitkan Oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Prov. Sul Sel
ix + 215 Halaman, 16 x 21 cm

ISBN:  978-602-18518-3-8  

Historiografi kebudayan Sulawesi Selatan merupakan spektrum sejarah dan kebudayaan yang berangkat dari sistem nilai sebagai suatu falsafah hidup masyarakat Sulawesi Selatan. Terjemahan naskah Sureq Lagaligo dan Manuskrip Lontaraq merupakan sastra klasik yang memiliki sprit kebudayaan dan narasi sejarah yang mampu mengungkapkan unsur-unsur metafiksi, rahasia spritualisme, serta mistifikasi kehidupan manusia dimasa lampau, berikut dengan peristiwa heroik yg meliputinya. Sebuah wasiat yang memiliki kecenderungan menelaah secara historik atas pranata sosial, kepercayaan, hukum, bahasa dalam spektrum kebudayaan masa lampau. Historiografi Kebudayaan Sulawesi Selatan yang dibahas dalam buku ini diuraikan berdasarkan nilai sejarah yang terdapat dalam empat suku; yaitu Suku Makassar, Bugis, Tator dan Mandar. Selanjutnya kekuatan historiografi tersebut diuraikan melalui analisis dan perbandingan dari beberapa literatur dan hasil penelitian yang dilakukan.

Senin, 17 September 2012

NESTAPA KEMISKINAN ADA PADA DIRI KITA

Oleh. Muh. Faisal MRa
Dosen UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi

Setelah menganalisis tulisan Muh. Iqbal Latief (Dosen Sosiologi Unhas) yang berjudul ‘Nestapa Kemiskinan (Juga) Tanggung Jawab DPRD’ di Harian Fajar Edisi 9 Mei 2012. Saya semakin curiga bahwa asumsi maupun persepsi terhadap fenomena sosial terutama kemiskinan senantiasa berpijak pada patron pemikiran pragmatis. Dikatakan pragmatis dikarenakan analisis wacana yang dilahirkan justru tidak lagi menjadi otokritik terhadap konsep pembangunan termasuk sistem kepemimpinan. Yang perlu diingat bahwa otokritik memberikan dampak positif terhadap sekelumit persoalan Bangsa, dengan catatan bahwa pendistribusian kritikan tersebut merepresentasikan realitas dengan menggunakan dalil informasi yang merujuk pada ilmu pengetahun. Apalagi Muh. Iqbal Latief merupakan penggerak ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, saya pikir tidak akan membantah simplifikasi ini apabila menggunakan dalil yang tepat.
Standar Kemiskinan yang Keliru
Variabel sesungguhya dalam topik ini adalah ‘kemiskinan’, mestinya penguraian wacana tersebut harus mampu memecahkan masalah kemiskinan secara holistik dan ilmiah, agar masyarakat Sul Sel dapat bangkit dalam pembangunan sektorialnya. Namun dalam tulisan Muh. Iqbal Latief cenderung melenceng bahkan disarati dengan aspek keberpihakan. Padahal sesungguhnya kita ketahui bahwa Keilmuan sosiologi mestinya harus netral menilik fenomena sosial sekaligus kelemahan peran-peran lembaga pemerintahan dewasa ini. Maka dari itu, jika dikatakan bahwa peran antara eksekutif dan legislatif harus sinergi dalam memecahkan persoalan kemiskinan, maka kita telah mengakui bahwa tingkat kemiskinan di Sul Sel adalah persoalan yang sangat signifikan (dengan jumlah kondisi miskin masih sekitar 835 ribu jiwa dengan jumlah penduduk Sul Sel di atas 8 juta jiwa). Yang perlu saya sampaikan saat ini adalah standar yang digunakan Bangsa ini dalam kategori kondisi miskin rata-rata berpenghasilan 220 ribu per-bulan (sumber: Data BPS dan litbang kompas). Sebuah sistem standarisasi pencitraan atas nama keberhasilan pemerintahan dalam meredam tingkat kemiskinan dengan ukuran yang tidak realistis. Jika saja standar yang digunakan misalnya 500 ribu perbulan, bisa dibayangkan besaran kemiskinan di Negeri ini. Standar tersebut juga digunakan secara nasional dengan menyimpulkan bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah 30,02 juta jiwa atau 12% dari total penduduk Indonesia. Dalam tulisan Muh. Iqbal Latief menyebutkan bahwa kemiskinan tidak hanya menjadi isu lokal, tapi sudah menjadi isu global. Olehnya patut direnungkan bahwa standarisasi yang digunakan dengan Bangsa lain sangatlah berbeda, yang tentunya berimplikasi dari besaran persentase kemiskinan di Indonesia, termasuk di Sul Sel.
Berikan Solusi
Kita harus mengakui bahwa, pembangunan Bangsa untuk keluar dari masalah kemiskinan tidak hanya sebatas penyusunan perda maupun tata kelola pemerintahan. Namun terlebih dari itu yang utama adalah perbaikan mental. Pemerintah yang telah membuat tiga Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan, bila tanpa memperbaiki mental masyarakat, mungkin hanya akan seperti menabur gula di laut. Rasa airnya takkan pernah menjadi manis. Mental masyarakat seperti itulah yang harus dibangun, bisa lewat kurikulum pendidikan di sekolah/kampus, lewat tontonan televisi yang mendidik, atau lewat berbagai media lainnya, hal ini juga senada dengan apa yang pernah ditanggapi oleh Ari Maulana. Tapi pemerintah dengan program BLT-nya (sekarang diganti menjadi Program Keluarga Harapan) justru seperti melestarikan budaya meminta-minta. Menyuruh si miskin antri hanya demi uang yang mungkin habis kurang dari sebulan. Selanjutnya pemerintah harus memiliki kebijakan yang menafkahi. Jangan bermimpi pemberdayaan bila si miskin masih lapar. Lalu yang terakhir pemerintah harus memiliki kebijakan yang memberdayakan. Pemerintah sebenarnya telah melakukan kebijakan yang memberdayakan dengan program PNPM Mandiri dan KUR yang merupakan bagian dari klaster II dan III Program Penanggulangan Kemiskinan, namun itu saja belum cukup. Persaingan usaha yang tidak berimbang dengan dominannya hypermarket yang dibangun berdekatan dengan pasar tradisional, atau hadirnya banyak minimarket di pelosok kampung, membuat banyak pedagang pasar dan warung terengah-engah. Harga yang kalah murah, membuat para pedagang kecil tersebut harus banyak berharap pada pembeli yang memiliki kepedulian tinggi, pembeli yang lebih memilih memberdayakan pedagang kecil daripada menambah kekayaan para pemodal super kaya.
Dari simplifikasi di atas, maka saatnya kita tidak lagi saling melempar tanggung jawab dalam menangani persoalan kemiskinan. Karena kemiskinan itu, juga ada pada diri kita dengan wujud yang lain. Dimulai dari kemiskinan mental, nurani, psikologi sampai pada kemiskinan budaya yang kini kita nikmati dengan bentuk keterjajahan baru (neo-kolonial). Olehnya Muh Iqbal Latief sebaiknya menguraikan wacana kemiskinan, berikut dengan aspek mendasar yang dapat diberikan sebagai sebuah pemecahan masalah. Bukan berdiri pada aspek kepentingan semata, yang berujung pada pelemparan tanggung jawab. Dari sini ‘komedi putar’ politik berjalan dengan tanpa meninggalkan sesuatu yang subtansial, termasuk kemiskinan. Persoalan kemiskinan membutuhkan penanganan serius. Coba kita lihat bagaimana kriminalisasi dan pengangguran yang menyisakan harapan. Disisi lain pemerintah ribut soal gaji masing-masing, lebih baik mereka mencontoh Nelson Mandela yang ketika memimpin Afrika Selatan, membuat kebijakan memotong gajinya sendiri demi menghemat anggaran negara. Disisi lain pemberantasan korupsi harus tanpa pandang bulu yang tentunya juga dapat menyelamatkan APBD, sehingga jatah subsidi rakyat dapat ditingkatkan. Saya pikir hal inilah yang harus dibangun dalam mengejewantahkan nilai-nilai kebudayaan Bugis-Makassar dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Karena spirit sipakatau lahir dari nurani dan mentalitas manusia, termasuk dalam menyelesaikan problematika kemiskinan yang melanda Bangsa ini. Sehingga untuk berbuat minimal kita mampu memahami bahwa nestapa kemiskinan ada pada diri kita.
(Tulisan ini juga pernah diterbikan di Harian Fajar)

Kamis, 13 September 2012

TRANSAKSI BUDAYA DIBALIK KETERBATASAN SOSIAL


Oleh: Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi

 Pertemuan budaya senantiasa membentuk sistem nilai, terlepas benar dan salahnya selaku manusia, hal demikian menjadi fenomena menarik dalam pengkajian analitis kebudayaan dewasa ini. Mengapa tidak, rotasi peradaban selalu progresif menemukan penciptaan model baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk stimulus pemenuhan selera dan pencitraan sebagai sebuah penegasan strata sosial, karena bagaimanapun fenomena kebudayaan adalah transaksi nilai dan makna.  

Kemelekan Budaya (cultural literachy)

Kemelekan budaya yang banyak diperankan oleh masyarakat dewasa ini, tidak terpas dari sugesti industri hiburan dan gaya hidup. Disamping mudah ditiru, juga terdapat keriangan tersendiri bagi penikmatnya. Sikap egalitarian gaya hidup tersebut malah tidak terikat oleh status sosial, karena yang hanya dibutuhkan adalah kemelekan budaya. Sejauhmana masyarakat mampu meniru dan mem- permak seindah mungkin pola-pola hidup yang sudah diisapi oleh narasi industri yang begitu besar. Kesadaran tersebut lahir dari fantasi dan pesona pencitraan manusia semata, bukan dari kesadaran hidup manusia selaku manusia.
Dalam realitas sosial, tidak asing ditemukan sebuah pemaksaan pola-pola hidup masyarakat. Mengapa tidak, adegan fiktif dalam tayangan sinetron senantiasa menampilkan kehidupan glamour tanpa jenjang dan proses yang meliputinya, seolah-olah kehidupan elitis sangat mudah ditampilkan sebagai salahsatu identitas yang bernilai. Yang menjadi persoalan adalah, realitas kehidupan masyarakat saat ini sangat jauh fantasi ideal dalam tayangan media. Masyarakat kita mengalami keterpurukan pendidikan dan ekonomi yang cukup memprihatinkan. Dengan sugesti tayangan media, masyarakat senantiasa bertindak tanpa proses, sehingga wajar saja kita temukan beragam bentuk insidental dalam fenomena sosial yang irrasional, seperti bunuh diri, penipuan melalui pemalsuan identitas, sampai pada konflik horizontal, pada dasarnya semua bersumber dari pemaksaan identitas dalam menggapai hasrat material yang kontradiksi dengan tayangan media selama ini. Keterbatasan potensi dan nilai-nilai keilmuan sepertinya terkubur dengan jalan pintas yang ditawarkan oleh media sebagai komoditas industri yang hanya melahirkan kesadaran palsu.
Kemelekan budaya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengetahui berbagai merek atau pola gaya yang lagi trend, namun dibutuhkan sebuah kemampuan untuk memiliki atau membeli. Tentu kemampuan yang satu ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Di sinilah artifak budaya pop menjadi lahan komodifikasi hatta wilaya sakral pun dapat menjadi wilayah profan bahkan wilayah kegaiban sebagai ruang penghayatan menjadi ruang hiburan dan lelucon. Semua ruang tersebut menjadi ‘ngepop’ kalau perlu Tuhan sekalipun di-pop-kan.
Di sisi lain budaya konsumerismepun mewabah. Dalam budaya konsumerisme, Produk dibeli bukan didasarkan pada kebutuhan dan azas manfaat akan tetapi lebih pada gengsi agar disebut modern. Komoditas produksi digantikan oleh komoditas budaya dengan penonjolan simbol dan identitas modernitas. Komoditas diproduksi bukan didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan tetapi kebutuhanlah yang diciptakan agar masyarakat merasa butuh untuk mengkonsumsi komoditas.

Membuka Kesadaran Sosial

Menurut Antonio Gramsci bahwa penjajahan saat ini tidak dilakukan dengan kasat mata melalui pemaksaan secara fisik dan senjata, akan tetapi dilakukan melalui penjajahan pemikiran, dimana pihak yang terjajah “menikmati” penjajahan tersebut. Sedangkan teori orientalisme Edward W. Said menyebutnya bahwa timur saat ini dikepung dari segala arah dengan pemikiran dan ekspansi budaya barat yang diperteguh oleh media, melalui bidang akademik, politik dan terlebih lagi dari segi ekonomi. Cita rasa, selera, gaya hidup, dan bahkan pemikiran masyarakat timur diubah sedemikian rupa sehingga mereka tercerabut dari akar budayanya, serta mengikuti budaya yang diimpor dari barat. Masyarakat timur dipasung agar mereka menganggap bahwa budaya dan peradaban timur terbelakang dan peradaban barat adalah peradaban yang lebih tinggi - modern yang harus diikuti. Maka tak pelak lagi dis-orientasi pembangunan peradaban timurpun terjadi karena paradigma yang digunakan tidak berbasis pada realitas. Usaha untuk membutakan masyarakat timur dari kondisi realitas yang mereka hadapi dilakukan sedemikian rupa.

Dalam tulisan ini, saya tidak menjustifikasi bahwa progresifitas peradaban adalah kesalahan budaya yang harus dihindari. Namun terlebih pada sejauhmana transformasi budaya tersebut mengedepankan sistem nilai dan norma-norma sosial yang berlandaskan identitas kearifan budaya (cultur values). Setidaknya tayangan media yang banyak dijadikan sebagai jargon-jargon kehidupan masyarakat, harus lebih mengutamakan visualisasi education-culture. Membuka kesadaran budaya melalui fakta sosial, yang kemudian berangsur-angsur menjadi kajian ontologism dalam meluruskan orientasi peradaban yang lebih baik, karena kebudayaan adalah idea perekat masyarakat dalam menemukan sistem nilai.
Kultur berfikir dan paradigma masyarakat kita yang masih diselubungi oleh (meminjam istilah Paulo Freire): kesadaran magis (Magical Consciousness) dan kesadaran naïf (Naival Consciousness). Olehnya, paradigma tersebut harus diubah menjadi kesadaran kritis (critical consciousness). Perubahan kultur dan paradigma berfikir ini dimungkinkan jika komunitas masyarakat secara komunal mulai menggali kembali falsafah, sisi religius dan spiritualitas ketimuran sebagai sebuah wasiat kebudayaan harus dikembalikan. Maka yang harus dilakukan adalah penguatan kembali dan membangkitkan budaya lokal kita sebagai countervailing culture (budaya tanding) untuk menandingi budaya konsumerisme yang sarat akan eksploitasi hegemoni, dan ekspansi kapital. Minimal, tidak hanya larut dalam transaksi budaya yang semakin ‘liar’,  sedangkan didalamnya justru memiliki  keterbatasan sosial yang sangat memprihatinkan.

Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan  pada Harian Fajar

Minggu, 29 Juli 2012

BUDAYA SERUMPUN: ANTARA MARTABAT DAN KETERBATASAN

Oleh: Muh Faisal MRa
Dosen FKIP Unismuh Makassar
Penggiat Antropologi, Cultural Studies

Dengan melihat deretan kasuistik dan perubahan hakikat cultural yang melanda kedua bangsa ini (Indonesia vs Malaysia), menuntut kita untuk menakar kembali secara holistik peranan kebudayaan serumpun sebagai sebuah hubungan keluarga yang tidak jauh dari ketentuan-ketentuan istiadat sebagai sebuah sistem sosial. Secara harfiah, budaya serumpun adalah suatu sistem kebudayaan yang memiliki nenek moyang yang sama. Kesamaan darah keturunan tentunya berimplikasi pada kesamaan genetika yang kemudian melahirkan aspek behaviour dalam melahirkan suatu tradisi dan sistem nilai. Simplikasi diatas tentunya membuat kita menarik suatu pertanyaan besar. Mengapa sistem nilai yang terbangun dalam kedua kebudayaan tersebut justru banyak menghasilkan kesenjangan struktural maupun kesenjangan cultural, bahkan sampai kepada kesenjangan geografis yang justru  merugikan tata nilai dan norma-norma kebudayaan itu sendiri. Hadirnya kesenjangan tersebut membentuk suatu asumsi bahwa kedua bangsa ini mengalami degradasi kearifan budaya dan kerancuan tata letak sistem nilai. Pergeseran tersebut tidak terlepas dari jejak akulturasi sistem global yang membuka jalan menuju ekspansi ideologi kapital. Karena harus disadari bahwa, perubahan kebudayaan senantiasa dilandasi oleh beberapa aspek,  termasuk polarisasi masyarakat dalam perubahan pola hidup. Dan selanjutnya diperkuat oleh sistem dan pranata sosial yang tidak lagi menjamin hak-hak keamanan, keadilan dan kesejahteraan bangsa. Menurut R. Brown terjadinya ketimpangan antara struktur dan fungsi, yang kemudian dikenal dengan teori struktural-fungsional.

Aksi Multirasis Malaysia

Perbedaan dalam tahap pencapaian ekonomi merupakan masalah besar di Malaysia, dimana terdapat ketegangan dan kaum yang termarginalkan. Ras-ras di Malaysia khususnya etnis cina yang jumlahnya 25 persen dan India 10 persen saling berhubungan dan bergantung satu sama lain, dan dari sini Malaysia merasa aman dan sekaligus diuntungkan dari segi pencapaian pertumbuhan ekonomi. Di suatu sisi dunia politik domestik Malaysia semakin rasis seiring dengan semakin terdesaknya kubu penguasa barisan nasional. Sehingga wajar Mantan perdana menteri Malaysia; Mahathir Muhammad, seperti yang dikutip dari berita The Malaysian Insider, mengingatkan warga Melayu untuk bersatu atau akan kehilangan negara mereka.
Asosiasi India seperti UMNO, MIC dan Asosiasi Tionghoa sepeti MCA bukan tidak mungkin akan menguasai Barisan Nasional, karena siapapun boleh maju dalam pemilu asal mereka mewakili kepentingan Malaysia. Jika ditelusuri, maka kemungkinan kepentingan ras di Malaysia akan mengendalikan kebijakan Nasional, termasuk kebijakan ekspansi kebudayaan dan wilayah maritim Indonesia-Malaysia. Olehnya, fenomena pluralisme dan multi rasis Malaysia tentunya memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam setiap dinamika persoalan yang menerpa kedua negara ini (Indonesia-Malaysia).  Disisi lain Indonesia seolah ragu dan memilih jalan diplomasi melihat kekuatan multi ras yang telah memperkuat posisi pertahanan Malaysia. Dari sini, kita dapat menelaah secara rasional bahwa budaya serumpun hampir sebatas ikatan emosional cultural belaka, tanpa hadirnya kekuatan kebijakan yang mampu melahirkan kemitraan terpadu secara struktural.


Penggadaian Martabat Indonesia

Wajar saja harkat dan martabat tergadaikan, ketika need and want masyarakat sudah tidak lagi dapat dihidangkan dalam sistem sosial kita. Negeri ini seolah-olah disibukkan oleh kepentingan kekuasaan yang khas dengan konspirasi maupun koalisi. Pemimpin bangsa ini selalu saja menjadikan rakyat sebagai pilar utama dalam menciptakan suatu perubahan. Mereka  lupa bahwa perubahan harus dimulai dari tata pemerintahan yang bersih dan menciptakan birokrasi yang memberikan pelayanan yang berkeadilan bagi rakyatnya. Negeri ini sesungguhnya kaya akan potensi alam dan lautnya, didalamnya terdapat suatu kekayaan tak terduga yang membuat bangsa-bangsa lain terutama Negeri Jiran menggunakan upaya ekspansi sektorial, seperti klaim khasanah kebudayaan, letak wilayah batas maritim sampai pada karya seni. Mengapa tidak, berdasarkan survei, kekayaan negeri ini terdiri dari 17.504 Pulau (yang didalamnya terdapat kekayaan yang sangat luar biasa), 10.068 suku bangsa, 615 bahasa 3.025 spesies binatang, 47.000 jenis tumbuhan, 300 gaya seni tari dan 485 lagu daerah. Tapi sayangnya anak negeri kita justru terlilit rantai kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya kian meningkat setiap tahunnya. Dari Analis Pasar Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa 116 juta jiwa angkatan kerja di Indonesia, sebanyak 8,59 juta adalah penganggur. Demi kelangsungan hidup saja, masyarakat kita rela menggadaikan martabat dan harga diri dengan jalan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di beberapa belahan bumi ini, terutama di Negeri Jiran Malaysia. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar TKI di Malaysia tidak memiliki kemampuan profesiologi dan bahkan tidak sedikit diantaranya minim dari segi moral dan spritualitas yang kuat, hal tersebut berimplikasi dari beberapa TKI yang menjadikan Negeri Jiran sebagai tempat pelarian dan persembunyian dari jerat hukum kriminalitas. Sehingga atas beberapa peran media, kasus tersebut menjadi komoditi primordialisme pemberitaan.
Simplikasi diatas tidak lain untuk melihat persoalan secara holistik sebagai sebuah fakta sosial. Bangsa Indonesia sejatinya melahirkan kekuatan patriotik NKRI yang mampu hidup mandiri dari kekayaan alam dan berdiri diatas kharisma kearifan budaya. Tidak secara berjamaah menghambakan diri didepan kekuasaan dan kekayaan demi perut masing-masing. Saatnya regulasi dan pranata sosial menjadi sebuah rujukan keadilan dan kesejahteraan Bangsa, bukan sebuah rujukan dalam melakukan kompromi maupun konspirasi kapital yang semakin menjauhkan harkat dan martabat Bangsa ini. Tidak hanya melihat secara sempit budaya serumpun antara martabat dan keterbatasan.

HYPER VIRTUALITAS DAN GENERASI ILUSIF

Oleh: Muh Faisal MRa
Dosen FKIP Unismuh Makassar, Penggiat Antropologi / Cultural Studies

Generasi muda merupakan masa depan sejarah yang akan menentukan transformasi kebudayaan sosial. Olehnya, proyeksi tentang titik masa depan bangsa ini dapat dilihat dari kecendrungan sistem nilai yang digunakan oleh pemuda saat ini. Dalam tinjauan perkembangan manusia menurut Jean Piaget; seorang filsuf/psikolog perkembangan anak bahwa, pertumbuhan fisik manusia senantiasa diikuti oleh perkembangan kognitifnya. Anak senantiasa menggunakan lingkungan sebagai instrumen pembentuk, baik secara emosional terlebih pada aspek kognisi.
 Berkembangnya pemikiran dan konstruksi positivisme mempertegas hilangnya romantika gaya pemikiran klasik, hal tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya pemikiran baru di awal abad ke XX, termasuk estetika. Periode tersebut dikenal dengan zaman Post-Modern. 
Paradigma Ilusif

Meningkatnya sarana jejaring sosial menjadi salahsatu variabel utama dalam melengkapi efektifitas interaksi manusia terhadap lingkungannya. Berdasarkan survey, Indonesia merupakan negara terbanyak mengkonsumsi jejaring sosial setelah Amerika dan Inggris. Konsumsi jejaring sosial sepertinya menjadi gerak pembaharu dalam menciptakan pemikiran dan gaya hidup yang semakin liar, terutama pada generasi muda. Komunikasi facebook, twiter, chatting dan beragam bentuk jejaring sosial lainnya menjadi lahan ibadah yang  mempesona bagi generasi muda kini, walau sekali-kali menjadi mengutuk. Karena beberapa diantaranya tidak banyak menjadikannya sebagai lahan transformasi keilmuan dan ekspansi pencerahan moral-spiritual.
Dalam lingkungan sosial yang selalu berubah, terdapat setidaknya dua faktor yang memperngaruhi perubahan sosial, yaitu pelaku perubahan dan mereka yang terkena dampak perubahan. Dalam kaitan ini tekhnologi-informasi dapat berperan dalam dua posisi sekaligus, sebagai aktor (means) pengubah dan sekaligus sebagai sasaran (ends) dari perubahan yang ingin dicapai. Dalam tulisan ini, saya mencoba menilik peran jejaring sosial dalam proses terbentuknya pencitraan gaya hidup yang berimplikasi pada prilaku dekonstruksi moral yang sewaktu-waktu menular di setiap dimensi kearifan manusia, keterlelapan generasi muda lebih banyak terbuang untuk melakukan fantasi ilusif dan berusaha ‘membongongi’ fitrah dan khittahnya sebagai mahluk sosial yang berbudaya dengan fasilitas jejaring sosial, dari sini pula peluang hadirnya makna ambiguitas sistem nilai pada generasi kita. Komunikasi jejaring sosial lebih banyak digunakan untuk malakukan rekayasa fisik maupun psikis. Tipuan pencitraan melekat untuk memperoleh status kelas-kelas sosial tertentu, bahwa popularitas dan pesona materialistik menjadi bagian yang bernilai tinggi bahkan nyaris melebihi agama sekalipun. Kondisi mampu dan tidak mampu dalam memiliki teknologi tersebut menjadi penyebab awal (primal causal) dari kesenjangan ekonomi - sosial. Bagi yang mampu menghasilkan teknologi apalagi memanfaatkan teknologi memiliki peluang yang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton.
Pada dasarnya situs-situs media sosial cenderung membawa generasi muda untuk membangun ‘hubungan semu sesaat’ yang membawa mereka tidak dapat mengatasi persoalan ketika jaringan sosial mereka kolaps. Internet dan mobile-device bisa membentuk komunitas ‘dehumanisasi’. Situs-situs tersebut dapat memberi kontribusi kepada tren dari anak-anak muda yang mementingkan kuantitas atau jumlah teman daripada kualitas pertemanan. Di antara anak-anak muda seringkali faktor penyebab dalam bunuh diri adalah trauma atas hubungan yang semu.
Menurut pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant bahwa, masing-masing tahap mewakili perkembangan dan pemahaman sang anak tentang realitas. Perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman manusia tentang lingkungannya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran.

Masuknya Periode Ilusi (The Illusion)

                Berdasarkan tinjauan psikologi, ilusi biasa terjadi karena disebabkan oleh rasa takut dan panik, fanatisme yang berlebihan dan keresahan yang berkepanjangan. Jika dikaitkan dengan  perkembangan high modernity saat ini, ilusi terjadi disebabkan oleh dua aspek: Yang Pertama: hilangnya kesadaran atas eksistensi diri dalam perkembangan lingkungan sosial. Misalnya, rasa takut jika tidak lagi mampu bersolek, berbaur dengan kehidupan hedonis, pergaulan bebas sampai pada rasa takut karena tidak mampu lagi menunjukkan keistimewaan dan kelebihan material. Hal tersebut tidak luput pula dari prilaku para elit kita yang korupsi secara berjamaah. Mengapa tidak, implikasi kompetisi perebutan kekuasaan tidak terlepas dari hadirnya jiwa ilutif yang senantiasa takut teralienasi dalam kekuasaan dan jabatan, jika perlu anak dan istripun harus menjadi jembatan estafet kekuasaan selanjutnya. Yang Kedua: Kegelisahan atas penghasilan perekonomian yang semakin terpuruk. Kemiskinan dan pengangguran yang semakin membengkak pada ruang dan waktu memberikan peluang terciptanya keterpaksaan prilaku kekerasan, penipuan, pelacuran dan penggadaian harga diri. Bentuk kriminalitas sosial senantiasa meningkat seiring dengan terbentuknya fantasi dan ilusi masyarakat yang meresahkan, kriminalitas yang cenderung makin impulsif dan ”berkualitas”.
Priode ilusi ini, tidak terlepas pula dari kompleksitas peradaban yang serba instant. Dengan ketersediaan produksi industri, seolah-olah priode ini menuntut menghasilkan sesuatu yang baru dalam perkembangan sosial dengan didasari oleh fantasi dan sugesti. Kebutuhan masyarakat yang dimanja oleh narasi tekhnologi-informasi, membentuk ilusi gagasan yang kemudian merebak secara irrasional, sehingga etika dan norma hiduppun juga terkadang irrasional. Kebohongan atas identitas melalui jejaring sosial berangsur-angsur mengeras menjadi karakter pembohongan atas sikap dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Bagaimana cara dan gaya kebohongan penegak/aparat hukum dalam memainkan materi-materi hukum demi konspirasi dan kepentingan kekuasaan, bagaimana kebohongan para pemimpin dalam memberikan kesenangan semu kepada masyarakat, bagaimana pemuda-pemudi kita melakukan kebohongan atas identitas dirinya demi hasrat dan kesenangan, selanjutnya bagaimana masyarakat kita melakukan kebohongan atas kesadarannya melebur dalam bentuk kehidupan konsumtifis. Tentunya narasi ini menuntut kita untuk meletakkan kembali tata nilai kearifan manusia yang sebenar-benarnya, membentuk sedini mungkin generasi kritis dan bermoral terhadap percepatan arus tekhnologi-informasi, sampai pada akhirnya mentalitas masyarakat siap menerima perkembangan informasi yang lebih baik. Jangan sampai kita justru menjadi pengikut dalam memberikan konstribusi hadirnya priode ilusif yang semakin ‘liar’.