Judul : HISTORIOGRAFI KEBUDAYAAN SULAWESI SELATAN
Penulis : Muh Faisal
Diterbitkan Oleh Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan Prov. Sul Sel
ix + 215 Halaman, 16 x 21 cm
ISBN: 978-602-18518-3-8
Historiografi
kebudayan Sulawesi Selatan merupakan spektrum sejarah dan kebudayaan
yang berangkat dari sistem nilai sebagai suatu falsafah hidup masyarakat
Sulawesi Selatan. Terjemahan naskah Sureq Lagaligo dan Manuskrip
Lontaraq merupakan sastra klasik
yang memiliki sprit kebudayaan dan narasi sejarah yang mampu
mengungkapkan unsur-unsur metafiksi, rahasia spritualisme, serta
mistifikasi kehidupan manusia dimasa lampau, berikut dengan peristiwa
heroik yg meliputinya. Sebuah wasiat yang memiliki kecenderungan
menelaah secara historik atas pranata sosial, kepercayaan, hukum, bahasa
dalam spektrum kebudayaan masa lampau. Historiografi Kebudayaan
Sulawesi Selatan yang dibahas dalam buku ini diuraikan berdasarkan nilai
sejarah yang terdapat dalam empat suku; yaitu Suku Makassar, Bugis,
Tator dan Mandar. Selanjutnya kekuatan historiografi tersebut diuraikan
melalui analisis dan perbandingan dari beberapa literatur dan hasil
penelitian yang dilakukan.
Rabu, 05 Desember 2012
Senin, 17 September 2012
NESTAPA KEMISKINAN ADA PADA DIRI KITA
Oleh. Muh. Faisal MRa
Dosen UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi
Setelah
menganalisis tulisan Muh. Iqbal Latief (Dosen Sosiologi Unhas) yang
berjudul ‘Nestapa Kemiskinan (Juga) Tanggung Jawab DPRD’ di Harian Fajar
Edisi 9 Mei 2012. Saya semakin curiga bahwa asumsi maupun persepsi
terhadap fenomena sosial terutama kemiskinan senantiasa berpijak pada
patron pemikiran pragmatis. Dikatakan pragmatis dikarenakan analisis
wacana yang dilahirkan justru tidak lagi menjadi otokritik terhadap
konsep pembangunan termasuk sistem kepemimpinan. Yang perlu diingat
bahwa otokritik memberikan dampak positif terhadap sekelumit persoalan
Bangsa, dengan catatan bahwa pendistribusian kritikan tersebut
merepresentasikan realitas dengan menggunakan dalil informasi yang
merujuk pada ilmu pengetahun. Apalagi Muh. Iqbal Latief merupakan
penggerak ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, saya pikir tidak akan
membantah simplifikasi ini apabila menggunakan dalil yang tepat.
Standar Kemiskinan yang Keliru
Variabel sesungguhya
dalam topik ini adalah ‘kemiskinan’, mestinya penguraian wacana tersebut
harus mampu memecahkan masalah kemiskinan secara holistik dan ilmiah,
agar masyarakat Sul Sel dapat bangkit dalam pembangunan sektorialnya.
Namun dalam tulisan Muh. Iqbal Latief cenderung melenceng bahkan
disarati dengan aspek keberpihakan. Padahal sesungguhnya kita ketahui
bahwa Keilmuan sosiologi mestinya harus netral menilik fenomena sosial
sekaligus kelemahan peran-peran lembaga pemerintahan dewasa ini. Maka
dari itu, jika dikatakan bahwa peran antara eksekutif dan legislatif
harus sinergi dalam memecahkan persoalan kemiskinan, maka kita telah
mengakui bahwa tingkat kemiskinan di Sul Sel adalah persoalan yang
sangat signifikan (dengan jumlah kondisi miskin masih sekitar 835 ribu
jiwa dengan jumlah penduduk Sul Sel di atas 8 juta jiwa). Yang perlu
saya sampaikan saat ini adalah standar yang digunakan Bangsa ini dalam
kategori kondisi miskin rata-rata berpenghasilan 220 ribu per-bulan
(sumber: Data BPS dan litbang kompas). Sebuah sistem standarisasi
pencitraan atas nama keberhasilan pemerintahan dalam meredam tingkat
kemiskinan dengan ukuran yang tidak realistis. Jika saja standar yang
digunakan misalnya 500 ribu perbulan, bisa dibayangkan besaran
kemiskinan di Negeri ini. Standar tersebut juga digunakan secara
nasional dengan menyimpulkan bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah
30,02 juta jiwa atau 12% dari total penduduk Indonesia. Dalam tulisan
Muh. Iqbal Latief menyebutkan bahwa kemiskinan tidak hanya menjadi isu
lokal, tapi sudah menjadi isu global. Olehnya patut direnungkan bahwa
standarisasi yang digunakan dengan Bangsa lain sangatlah berbeda, yang
tentunya berimplikasi dari besaran persentase kemiskinan di Indonesia,
termasuk di Sul Sel.
Berikan Solusi
Kita harus
mengakui bahwa, pembangunan Bangsa untuk keluar dari masalah kemiskinan
tidak hanya sebatas penyusunan perda maupun tata kelola pemerintahan.
Namun terlebih dari itu yang utama adalah perbaikan mental. Pemerintah
yang telah membuat tiga Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan, bila
tanpa memperbaiki mental masyarakat, mungkin hanya akan seperti menabur
gula di laut. Rasa airnya takkan pernah menjadi manis. Mental masyarakat
seperti itulah yang harus dibangun, bisa lewat kurikulum pendidikan di
sekolah/kampus, lewat tontonan televisi yang mendidik, atau lewat
berbagai media lainnya, hal ini juga senada dengan apa yang pernah
ditanggapi oleh Ari Maulana. Tapi pemerintah dengan program BLT-nya
(sekarang diganti menjadi Program Keluarga Harapan) justru seperti
melestarikan budaya meminta-minta. Menyuruh si miskin antri hanya demi
uang yang mungkin habis kurang dari sebulan. Selanjutnya pemerintah
harus memiliki kebijakan yang menafkahi. Jangan bermimpi pemberdayaan
bila si miskin masih lapar. Lalu yang terakhir pemerintah harus memiliki
kebijakan yang memberdayakan. Pemerintah sebenarnya telah melakukan
kebijakan yang memberdayakan dengan program PNPM Mandiri dan KUR yang
merupakan bagian dari klaster II dan III Program Penanggulangan
Kemiskinan, namun itu saja belum cukup. Persaingan usaha yang tidak
berimbang dengan dominannya hypermarket yang dibangun berdekatan dengan
pasar tradisional, atau hadirnya banyak minimarket di pelosok kampung,
membuat banyak pedagang pasar dan warung terengah-engah. Harga yang
kalah murah, membuat para pedagang kecil tersebut harus banyak berharap
pada pembeli yang memiliki kepedulian tinggi, pembeli yang lebih memilih
memberdayakan pedagang kecil daripada menambah kekayaan para pemodal
super kaya.
Dari
simplifikasi di atas, maka saatnya kita tidak lagi saling melempar
tanggung jawab dalam menangani persoalan kemiskinan. Karena kemiskinan
itu, juga ada pada diri kita dengan wujud yang lain. Dimulai dari
kemiskinan mental, nurani, psikologi sampai pada kemiskinan budaya yang
kini kita nikmati dengan bentuk keterjajahan baru (neo-kolonial).
Olehnya Muh Iqbal Latief sebaiknya menguraikan wacana kemiskinan,
berikut dengan aspek mendasar yang dapat diberikan sebagai sebuah
pemecahan masalah. Bukan berdiri pada aspek kepentingan semata, yang
berujung pada pelemparan tanggung jawab. Dari sini ‘komedi putar’
politik berjalan dengan tanpa meninggalkan sesuatu yang subtansial,
termasuk kemiskinan. Persoalan kemiskinan membutuhkan penanganan serius.
Coba kita lihat bagaimana kriminalisasi dan pengangguran yang
menyisakan harapan. Disisi lain pemerintah ribut soal gaji
masing-masing, lebih baik mereka mencontoh Nelson Mandela yang ketika
memimpin Afrika Selatan, membuat kebijakan memotong gajinya sendiri demi
menghemat anggaran negara. Disisi lain pemberantasan korupsi harus
tanpa pandang bulu yang tentunya juga dapat menyelamatkan APBD, sehingga
jatah subsidi rakyat dapat ditingkatkan. Saya pikir hal inilah yang
harus dibangun dalam mengejewantahkan nilai-nilai kebudayaan
Bugis-Makassar dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Karena spirit
sipakatau lahir dari nurani dan mentalitas manusia, termasuk dalam
menyelesaikan problematika kemiskinan yang melanda Bangsa ini. Sehingga
untuk berbuat minimal kita mampu memahami bahwa nestapa kemiskinan ada
pada diri kita.
(Tulisan ini juga pernah diterbikan di Harian Fajar)
Kamis, 13 September 2012
TRANSAKSI BUDAYA DIBALIK KETERBATASAN SOSIAL
Oleh: Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi
Pertemuan budaya senantiasa membentuk sistem nilai, terlepas benar dan
salahnya selaku manusia, hal demikian menjadi fenomena menarik dalam pengkajian
analitis kebudayaan dewasa ini. Mengapa tidak, rotasi peradaban selalu
progresif menemukan penciptaan model baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk
stimulus pemenuhan selera dan pencitraan sebagai sebuah penegasan strata sosial,
karena bagaimanapun fenomena kebudayaan adalah transaksi nilai dan makna.
Kemelekan
Budaya (cultural literachy)
Kemelekan budaya yang banyak diperankan oleh masyarakat
dewasa ini, tidak terpas dari sugesti industri hiburan dan gaya hidup. Disamping
mudah ditiru, juga terdapat keriangan tersendiri bagi penikmatnya. Sikap
egalitarian gaya hidup tersebut malah tidak terikat oleh status sosial, karena
yang hanya dibutuhkan adalah kemelekan budaya. Sejauhmana masyarakat mampu
meniru dan mem- permak seindah mungkin pola-pola hidup yang sudah diisapi oleh
narasi industri yang begitu besar. Kesadaran tersebut lahir dari fantasi dan
pesona pencitraan manusia semata, bukan dari kesadaran hidup manusia selaku
manusia.
Dalam realitas sosial, tidak asing ditemukan sebuah
pemaksaan pola-pola hidup masyarakat. Mengapa tidak, adegan fiktif dalam
tayangan sinetron senantiasa menampilkan kehidupan glamour tanpa jenjang dan proses
yang meliputinya, seolah-olah kehidupan elitis sangat mudah ditampilkan sebagai
salahsatu identitas yang bernilai. Yang menjadi persoalan adalah, realitas
kehidupan masyarakat saat ini sangat jauh fantasi ideal dalam tayangan media.
Masyarakat kita mengalami keterpurukan pendidikan dan ekonomi yang cukup
memprihatinkan. Dengan sugesti tayangan media, masyarakat senantiasa bertindak
tanpa proses, sehingga wajar saja kita temukan beragam bentuk insidental dalam
fenomena sosial yang irrasional, seperti bunuh diri, penipuan melalui pemalsuan
identitas, sampai pada konflik horizontal, pada dasarnya semua bersumber dari pemaksaan
identitas dalam menggapai hasrat material yang kontradiksi dengan tayangan media
selama ini. Keterbatasan potensi dan nilai-nilai keilmuan sepertinya terkubur
dengan jalan pintas yang ditawarkan oleh media sebagai komoditas industri yang
hanya melahirkan kesadaran palsu.
Kemelekan budaya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan
mengetahui berbagai merek atau pola gaya yang lagi trend, namun dibutuhkan
sebuah kemampuan untuk memiliki atau membeli. Tentu kemampuan yang satu ini hanya
dimiliki oleh segelintir orang. Di sinilah artifak budaya pop menjadi lahan
komodifikasi hatta wilaya sakral pun dapat menjadi wilayah profan bahkan
wilayah kegaiban sebagai ruang penghayatan menjadi ruang hiburan dan lelucon.
Semua ruang tersebut menjadi ‘ngepop’ kalau perlu Tuhan sekalipun di-pop-kan.
Di sisi lain budaya konsumerismepun mewabah. Dalam budaya
konsumerisme, Produk dibeli bukan didasarkan pada kebutuhan dan azas manfaat
akan tetapi lebih pada gengsi agar disebut modern. Komoditas produksi
digantikan oleh komoditas budaya dengan penonjolan simbol dan identitas
modernitas. Komoditas diproduksi bukan didasarkan pada kebutuhan masyarakat
akan tetapi kebutuhanlah yang diciptakan agar masyarakat merasa butuh untuk
mengkonsumsi komoditas.
Membuka
Kesadaran Sosial
Menurut Antonio Gramsci bahwa penjajahan saat ini tidak
dilakukan dengan kasat mata melalui pemaksaan secara fisik dan senjata, akan
tetapi dilakukan melalui penjajahan pemikiran, dimana pihak yang terjajah
“menikmati” penjajahan tersebut. Sedangkan teori orientalisme Edward W. Said menyebutnya
bahwa timur saat ini dikepung dari segala arah dengan pemikiran dan ekspansi
budaya barat yang diperteguh oleh media, melalui bidang akademik, politik dan
terlebih lagi dari segi ekonomi. Cita rasa, selera, gaya hidup, dan bahkan
pemikiran masyarakat timur diubah sedemikian rupa sehingga mereka tercerabut
dari akar budayanya, serta mengikuti budaya yang diimpor dari barat. Masyarakat
timur dipasung agar mereka menganggap bahwa budaya dan peradaban timur
terbelakang dan peradaban barat adalah peradaban yang lebih tinggi - modern
yang harus diikuti. Maka tak pelak lagi dis-orientasi pembangunan peradaban
timurpun terjadi karena paradigma yang digunakan tidak berbasis pada realitas.
Usaha untuk membutakan masyarakat timur dari kondisi realitas yang mereka
hadapi dilakukan sedemikian rupa.
Dalam tulisan ini, saya tidak menjustifikasi bahwa progresifitas
peradaban adalah kesalahan budaya yang harus dihindari. Namun terlebih pada
sejauhmana transformasi budaya tersebut mengedepankan sistem nilai dan
norma-norma sosial yang berlandaskan identitas kearifan budaya (cultur values). Setidaknya tayangan
media yang banyak dijadikan sebagai jargon-jargon kehidupan masyarakat, harus
lebih mengutamakan visualisasi education-culture. Membuka kesadaran budaya
melalui fakta sosial, yang kemudian berangsur-angsur menjadi kajian ontologism
dalam meluruskan orientasi peradaban yang lebih baik, karena kebudayaan adalah idea
perekat masyarakat dalam menemukan sistem nilai.
Kultur berfikir dan paradigma masyarakat kita yang masih
diselubungi oleh (meminjam istilah Paulo Freire): kesadaran magis (Magical Consciousness) dan kesadaran
naïf (Naival Consciousness). Olehnya,
paradigma tersebut harus diubah menjadi kesadaran kritis (critical consciousness). Perubahan kultur dan paradigma berfikir
ini dimungkinkan jika komunitas masyarakat secara komunal mulai menggali
kembali falsafah, sisi religius dan spiritualitas ketimuran sebagai sebuah
wasiat kebudayaan harus dikembalikan. Maka yang harus dilakukan adalah
penguatan kembali dan membangkitkan budaya lokal kita sebagai countervailing culture (budaya tanding)
untuk menandingi budaya konsumerisme yang sarat akan eksploitasi hegemoni, dan
ekspansi kapital. Minimal, tidak hanya larut dalam transaksi budaya yang semakin
‘liar’, sedangkan didalamnya justru memiliki keterbatasan sosial yang sangat memprihatinkan.
Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan pada Harian Fajar
Minggu, 29 Juli 2012
BUDAYA SERUMPUN: ANTARA MARTABAT DAN KETERBATASAN
Dengan melihat deretan kasuistik dan perubahan hakikat cultural yang melanda kedua bangsa ini (Indonesia vs
Malaysia), menuntut kita untuk
menakar kembali secara holistik peranan kebudayaan serumpun sebagai sebuah hubungan
keluarga yang tidak jauh dari ketentuan-ketentuan istiadat sebagai sebuah
sistem sosial. Secara harfiah, budaya serumpun adalah suatu sistem kebudayaan
yang memiliki nenek moyang yang sama. Kesamaan darah keturunan tentunya
berimplikasi pada kesamaan genetika yang kemudian melahirkan aspek behaviour
dalam melahirkan suatu tradisi dan sistem nilai. Simplikasi diatas tentunya
membuat kita menarik suatu pertanyaan besar. Mengapa sistem nilai yang
terbangun dalam kedua kebudayaan tersebut justru banyak menghasilkan kesenjangan
struktural maupun kesenjangan cultural, bahkan sampai kepada kesenjangan
geografis yang justru merugikan tata
nilai dan norma-norma kebudayaan itu sendiri. Hadirnya kesenjangan tersebut membentuk
suatu asumsi bahwa kedua bangsa ini mengalami degradasi kearifan budaya dan kerancuan
tata letak sistem nilai. Pergeseran tersebut tidak terlepas dari jejak
akulturasi sistem global yang membuka jalan menuju ekspansi ideologi kapital. Karena
harus disadari bahwa, perubahan kebudayaan senantiasa dilandasi oleh beberapa aspek, termasuk polarisasi masyarakat dalam perubahan
pola hidup. Dan selanjutnya diperkuat oleh sistem dan pranata sosial yang tidak
lagi menjamin hak-hak keamanan, keadilan dan kesejahteraan bangsa. Menurut R.
Brown terjadinya ketimpangan antara struktur dan fungsi, yang kemudian dikenal
dengan teori struktural-fungsional.
Aksi Multirasis
Malaysia
Perbedaan dalam tahap pencapaian ekonomi merupakan masalah
besar di Malaysia, dimana terdapat ketegangan dan kaum yang termarginalkan. Ras-ras
di Malaysia khususnya etnis cina yang jumlahnya 25 persen dan India 10 persen saling
berhubungan dan bergantung satu sama lain, dan dari sini Malaysia merasa aman
dan sekaligus diuntungkan dari segi pencapaian pertumbuhan ekonomi. Di suatu
sisi dunia politik domestik Malaysia semakin rasis seiring dengan semakin
terdesaknya kubu penguasa barisan nasional. Sehingga wajar Mantan perdana
menteri Malaysia; Mahathir Muhammad, seperti yang dikutip dari berita The Malaysian Insider, mengingatkan
warga Melayu untuk bersatu atau akan kehilangan negara mereka.
Asosiasi India seperti UMNO, MIC dan Asosiasi Tionghoa
sepeti MCA bukan tidak mungkin akan menguasai Barisan Nasional, karena siapapun
boleh maju dalam pemilu asal mereka mewakili kepentingan Malaysia. Jika
ditelusuri, maka kemungkinan kepentingan ras di Malaysia akan mengendalikan
kebijakan Nasional, termasuk kebijakan ekspansi kebudayaan dan wilayah maritim
Indonesia-Malaysia. Olehnya, fenomena pluralisme dan multi rasis Malaysia tentunya
memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam setiap dinamika persoalan yang
menerpa kedua negara ini (Indonesia-Malaysia). Disisi lain Indonesia seolah ragu dan memilih
jalan diplomasi melihat kekuatan multi ras yang telah memperkuat posisi
pertahanan Malaysia. Dari sini, kita dapat menelaah secara rasional bahwa
budaya serumpun hampir sebatas ikatan emosional cultural belaka, tanpa hadirnya
kekuatan kebijakan yang mampu melahirkan kemitraan terpadu secara struktural.
Penggadaian
Martabat Indonesia
Wajar saja harkat dan martabat tergadaikan, ketika need and want masyarakat sudah tidak
lagi dapat dihidangkan dalam sistem sosial kita. Negeri ini seolah-olah
disibukkan oleh kepentingan kekuasaan yang khas dengan konspirasi maupun
koalisi. Pemimpin bangsa ini selalu saja menjadikan rakyat sebagai pilar utama
dalam menciptakan suatu perubahan. Mereka
lupa bahwa perubahan harus dimulai dari tata pemerintahan yang bersih dan
menciptakan birokrasi yang memberikan pelayanan yang berkeadilan bagi rakyatnya.
Negeri ini sesungguhnya kaya akan potensi alam dan lautnya, didalamnya terdapat
suatu kekayaan tak terduga yang membuat bangsa-bangsa lain terutama Negeri
Jiran menggunakan upaya ekspansi sektorial, seperti klaim khasanah kebudayaan,
letak wilayah batas maritim sampai pada karya seni. Mengapa tidak, berdasarkan
survei, kekayaan negeri ini terdiri dari 17.504 Pulau (yang
didalamnya terdapat kekayaan yang sangat luar biasa), 10.068 suku bangsa, 615
bahasa 3.025 spesies binatang, 47.000 jenis tumbuhan, 300 gaya seni tari dan
485 lagu daerah. Tapi sayangnya anak negeri kita justru terlilit rantai
kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya kian meningkat setiap tahunnya. Dari Analis Pasar Kerja Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa 116 juta jiwa angkatan kerja di
Indonesia, sebanyak 8,59 juta adalah penganggur. Demi kelangsungan hidup saja,
masyarakat kita rela menggadaikan martabat dan harga diri dengan jalan menjadi
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di beberapa belahan bumi ini, terutama di Negeri
Jiran Malaysia. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar TKI di Malaysia tidak
memiliki kemampuan profesiologi dan bahkan tidak sedikit diantaranya minim dari
segi moral dan spritualitas yang kuat, hal tersebut berimplikasi dari beberapa
TKI yang menjadikan Negeri Jiran sebagai tempat pelarian dan persembunyian dari
jerat hukum kriminalitas. Sehingga atas beberapa peran media, kasus tersebut
menjadi komoditi primordialisme pemberitaan.
Simplikasi
diatas tidak lain untuk melihat persoalan secara holistik sebagai sebuah fakta
sosial. Bangsa Indonesia sejatinya melahirkan kekuatan patriotik NKRI yang mampu
hidup mandiri dari kekayaan alam dan berdiri diatas kharisma kearifan budaya.
Tidak secara berjamaah menghambakan diri didepan kekuasaan dan kekayaan demi
perut masing-masing. Saatnya regulasi dan pranata sosial menjadi sebuah rujukan
keadilan dan kesejahteraan Bangsa, bukan sebuah rujukan dalam melakukan
kompromi maupun konspirasi kapital yang semakin menjauhkan harkat dan martabat
Bangsa ini. Tidak hanya melihat secara sempit budaya serumpun antara martabat
dan keterbatasan. HYPER VIRTUALITAS DAN GENERASI ILUSIF
Dosen FKIP Unismuh Makassar, Penggiat Antropologi / Cultural Studies
Generasi muda merupakan masa depan sejarah yang akan menentukan
transformasi kebudayaan sosial. Olehnya, proyeksi tentang titik masa depan
bangsa ini dapat dilihat dari kecendrungan sistem nilai yang digunakan oleh
pemuda saat ini. Dalam tinjauan perkembangan manusia menurut Jean Piaget; seorang
filsuf/psikolog perkembangan anak bahwa, pertumbuhan fisik manusia senantiasa
diikuti oleh perkembangan kognitifnya. Anak senantiasa menggunakan lingkungan
sebagai instrumen pembentuk, baik secara emosional terlebih pada aspek kognisi.
Berkembangnya pemikiran dan konstruksi positivisme mempertegas hilangnya romantika gaya pemikiran klasik, hal tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya pemikiran baru di awal abad ke XX, termasuk estetika. Periode tersebut dikenal dengan zaman Post-Modern.
Berkembangnya pemikiran dan konstruksi positivisme mempertegas hilangnya romantika gaya pemikiran klasik, hal tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya pemikiran baru di awal abad ke XX, termasuk estetika. Periode tersebut dikenal dengan zaman Post-Modern.
Paradigma Ilusif
Meningkatnya sarana jejaring
sosial menjadi salahsatu variabel utama dalam melengkapi efektifitas interaksi
manusia terhadap lingkungannya. Berdasarkan survey, Indonesia merupakan negara
terbanyak mengkonsumsi jejaring sosial setelah Amerika dan Inggris. Konsumsi jejaring
sosial sepertinya menjadi gerak pembaharu dalam menciptakan pemikiran dan gaya
hidup yang semakin liar, terutama pada generasi muda. Komunikasi facebook,
twiter, chatting dan beragam bentuk jejaring sosial lainnya menjadi lahan
ibadah yang mempesona bagi generasi muda
kini, walau sekali-kali menjadi mengutuk. Karena beberapa diantaranya tidak banyak
menjadikannya sebagai lahan transformasi keilmuan dan ekspansi pencerahan
moral-spiritual.
Dalam lingkungan sosial yang
selalu berubah, terdapat setidaknya dua faktor yang memperngaruhi perubahan
sosial, yaitu pelaku perubahan dan mereka yang terkena dampak perubahan. Dalam
kaitan ini tekhnologi-informasi dapat berperan dalam dua posisi sekaligus,
sebagai aktor (means) pengubah dan
sekaligus sebagai sasaran (ends) dari
perubahan yang ingin dicapai. Dalam tulisan ini, saya mencoba menilik peran
jejaring sosial dalam proses terbentuknya pencitraan gaya hidup yang
berimplikasi pada prilaku dekonstruksi moral yang sewaktu-waktu menular di setiap
dimensi kearifan manusia, keterlelapan generasi muda lebih banyak terbuang
untuk melakukan fantasi ilusif dan berusaha ‘membongongi’ fitrah dan khittahnya
sebagai mahluk sosial yang berbudaya dengan fasilitas jejaring sosial, dari
sini pula peluang hadirnya makna ambiguitas
sistem nilai pada generasi kita. Komunikasi jejaring sosial lebih banyak digunakan
untuk malakukan rekayasa fisik maupun psikis. Tipuan pencitraan melekat untuk
memperoleh status kelas-kelas sosial tertentu, bahwa popularitas dan pesona materialistik
menjadi bagian yang bernilai tinggi bahkan nyaris melebihi agama sekalipun. Kondisi
mampu dan tidak mampu dalam memiliki teknologi tersebut menjadi penyebab awal (primal causal) dari kesenjangan ekonomi
- sosial. Bagi yang mampu menghasilkan teknologi apalagi memanfaatkan teknologi
memiliki peluang yang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi,
sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton.
Pada dasarnya situs-situs media
sosial cenderung membawa generasi muda untuk membangun ‘hubungan semu sesaat’ yang membawa mereka tidak dapat mengatasi
persoalan ketika jaringan sosial mereka kolaps. Internet dan mobile-device bisa membentuk komunitas ‘dehumanisasi’. Situs-situs
tersebut dapat memberi kontribusi kepada tren dari anak-anak muda yang
mementingkan kuantitas atau jumlah teman daripada kualitas pertemanan. Di
antara anak-anak muda seringkali faktor penyebab dalam bunuh diri adalah trauma
atas hubungan yang semu.
Menurut pandangan strukturalis
yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant bahwa, masing-masing tahap mewakili perkembangan
dan pemahaman sang anak tentang realitas. Perkembangan dari satu tahap ke tahap
yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman manusia
tentang lingkungannya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat
ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran.
Masuknya Periode Ilusi (The Illusion)
Berdasarkan tinjauan
psikologi, ilusi biasa terjadi karena disebabkan oleh rasa takut dan panik,
fanatisme yang berlebihan dan keresahan yang berkepanjangan. Jika dikaitkan
dengan perkembangan high modernity saat ini, ilusi terjadi disebabkan oleh dua aspek: Yang Pertama: hilangnya kesadaran atas
eksistensi diri dalam perkembangan lingkungan sosial. Misalnya, rasa takut jika
tidak lagi mampu bersolek, berbaur dengan kehidupan hedonis, pergaulan bebas
sampai pada rasa takut karena tidak mampu lagi menunjukkan keistimewaan dan
kelebihan material. Hal tersebut tidak luput pula dari prilaku para elit kita yang
korupsi secara berjamaah. Mengapa tidak, implikasi kompetisi perebutan kekuasaan
tidak terlepas dari hadirnya jiwa ilutif yang senantiasa takut teralienasi
dalam kekuasaan dan jabatan, jika perlu anak dan istripun harus menjadi
jembatan estafet kekuasaan selanjutnya. Yang
Kedua: Kegelisahan atas penghasilan perekonomian yang semakin terpuruk. Kemiskinan
dan pengangguran yang semakin membengkak pada ruang dan waktu memberikan peluang
terciptanya keterpaksaan prilaku kekerasan, penipuan, pelacuran dan penggadaian
harga diri. Bentuk kriminalitas sosial senantiasa meningkat seiring dengan terbentuknya
fantasi dan ilusi masyarakat yang meresahkan, kriminalitas yang cenderung makin
impulsif dan ”berkualitas”.
Priode ilusi ini, tidak terlepas
pula dari kompleksitas peradaban yang serba instant. Dengan ketersediaan produksi
industri, seolah-olah priode ini menuntut menghasilkan sesuatu yang baru dalam
perkembangan sosial dengan didasari oleh fantasi dan sugesti. Kebutuhan
masyarakat yang dimanja oleh narasi tekhnologi-informasi, membentuk ilusi
gagasan yang kemudian merebak secara irrasional, sehingga etika dan norma
hiduppun juga terkadang irrasional. Kebohongan atas identitas melalui jejaring
sosial berangsur-angsur mengeras menjadi karakter pembohongan atas sikap dan
tanggung jawabnya sebagai manusia. Bagaimana cara dan gaya kebohongan penegak/aparat
hukum dalam memainkan materi-materi hukum demi konspirasi dan kepentingan
kekuasaan, bagaimana kebohongan para pemimpin dalam memberikan kesenangan semu
kepada masyarakat, bagaimana pemuda-pemudi kita melakukan kebohongan atas
identitas dirinya demi hasrat dan kesenangan, selanjutnya bagaimana masyarakat kita
melakukan kebohongan atas kesadarannya melebur dalam bentuk kehidupan konsumtifis.
Tentunya narasi ini menuntut kita untuk meletakkan kembali tata nilai kearifan
manusia yang sebenar-benarnya, membentuk sedini mungkin generasi kritis dan
bermoral terhadap percepatan arus tekhnologi-informasi, sampai pada akhirnya
mentalitas masyarakat siap menerima perkembangan informasi yang lebih baik. Jangan
sampai kita justru menjadi pengikut dalam memberikan konstribusi hadirnya
priode ilusif yang semakin ‘liar’.
Langganan:
Postingan (Atom)