Oleh: Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi
Pertemuan budaya senantiasa membentuk sistem nilai, terlepas benar dan
salahnya selaku manusia, hal demikian menjadi fenomena menarik dalam pengkajian
analitis kebudayaan dewasa ini. Mengapa tidak, rotasi peradaban selalu
progresif menemukan penciptaan model baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk
stimulus pemenuhan selera dan pencitraan sebagai sebuah penegasan strata sosial,
karena bagaimanapun fenomena kebudayaan adalah transaksi nilai dan makna.
Kemelekan
Budaya (cultural literachy)
Kemelekan budaya yang banyak diperankan oleh masyarakat
dewasa ini, tidak terpas dari sugesti industri hiburan dan gaya hidup. Disamping
mudah ditiru, juga terdapat keriangan tersendiri bagi penikmatnya. Sikap
egalitarian gaya hidup tersebut malah tidak terikat oleh status sosial, karena
yang hanya dibutuhkan adalah kemelekan budaya. Sejauhmana masyarakat mampu
meniru dan mem- permak seindah mungkin pola-pola hidup yang sudah diisapi oleh
narasi industri yang begitu besar. Kesadaran tersebut lahir dari fantasi dan
pesona pencitraan manusia semata, bukan dari kesadaran hidup manusia selaku
manusia.
Dalam realitas sosial, tidak asing ditemukan sebuah
pemaksaan pola-pola hidup masyarakat. Mengapa tidak, adegan fiktif dalam
tayangan sinetron senantiasa menampilkan kehidupan glamour tanpa jenjang dan proses
yang meliputinya, seolah-olah kehidupan elitis sangat mudah ditampilkan sebagai
salahsatu identitas yang bernilai. Yang menjadi persoalan adalah, realitas
kehidupan masyarakat saat ini sangat jauh fantasi ideal dalam tayangan media.
Masyarakat kita mengalami keterpurukan pendidikan dan ekonomi yang cukup
memprihatinkan. Dengan sugesti tayangan media, masyarakat senantiasa bertindak
tanpa proses, sehingga wajar saja kita temukan beragam bentuk insidental dalam
fenomena sosial yang irrasional, seperti bunuh diri, penipuan melalui pemalsuan
identitas, sampai pada konflik horizontal, pada dasarnya semua bersumber dari pemaksaan
identitas dalam menggapai hasrat material yang kontradiksi dengan tayangan media
selama ini. Keterbatasan potensi dan nilai-nilai keilmuan sepertinya terkubur
dengan jalan pintas yang ditawarkan oleh media sebagai komoditas industri yang
hanya melahirkan kesadaran palsu.
Kemelekan budaya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan
mengetahui berbagai merek atau pola gaya yang lagi trend, namun dibutuhkan
sebuah kemampuan untuk memiliki atau membeli. Tentu kemampuan yang satu ini hanya
dimiliki oleh segelintir orang. Di sinilah artifak budaya pop menjadi lahan
komodifikasi hatta wilaya sakral pun dapat menjadi wilayah profan bahkan
wilayah kegaiban sebagai ruang penghayatan menjadi ruang hiburan dan lelucon.
Semua ruang tersebut menjadi ‘ngepop’ kalau perlu Tuhan sekalipun di-pop-kan.
Di sisi lain budaya konsumerismepun mewabah. Dalam budaya
konsumerisme, Produk dibeli bukan didasarkan pada kebutuhan dan azas manfaat
akan tetapi lebih pada gengsi agar disebut modern. Komoditas produksi
digantikan oleh komoditas budaya dengan penonjolan simbol dan identitas
modernitas. Komoditas diproduksi bukan didasarkan pada kebutuhan masyarakat
akan tetapi kebutuhanlah yang diciptakan agar masyarakat merasa butuh untuk
mengkonsumsi komoditas.
Membuka
Kesadaran Sosial
Menurut Antonio Gramsci bahwa penjajahan saat ini tidak
dilakukan dengan kasat mata melalui pemaksaan secara fisik dan senjata, akan
tetapi dilakukan melalui penjajahan pemikiran, dimana pihak yang terjajah
“menikmati” penjajahan tersebut. Sedangkan teori orientalisme Edward W. Said menyebutnya
bahwa timur saat ini dikepung dari segala arah dengan pemikiran dan ekspansi
budaya barat yang diperteguh oleh media, melalui bidang akademik, politik dan
terlebih lagi dari segi ekonomi. Cita rasa, selera, gaya hidup, dan bahkan
pemikiran masyarakat timur diubah sedemikian rupa sehingga mereka tercerabut
dari akar budayanya, serta mengikuti budaya yang diimpor dari barat. Masyarakat
timur dipasung agar mereka menganggap bahwa budaya dan peradaban timur
terbelakang dan peradaban barat adalah peradaban yang lebih tinggi - modern
yang harus diikuti. Maka tak pelak lagi dis-orientasi pembangunan peradaban
timurpun terjadi karena paradigma yang digunakan tidak berbasis pada realitas.
Usaha untuk membutakan masyarakat timur dari kondisi realitas yang mereka
hadapi dilakukan sedemikian rupa.
Dalam tulisan ini, saya tidak menjustifikasi bahwa progresifitas
peradaban adalah kesalahan budaya yang harus dihindari. Namun terlebih pada
sejauhmana transformasi budaya tersebut mengedepankan sistem nilai dan
norma-norma sosial yang berlandaskan identitas kearifan budaya (cultur values). Setidaknya tayangan
media yang banyak dijadikan sebagai jargon-jargon kehidupan masyarakat, harus
lebih mengutamakan visualisasi education-culture. Membuka kesadaran budaya
melalui fakta sosial, yang kemudian berangsur-angsur menjadi kajian ontologism
dalam meluruskan orientasi peradaban yang lebih baik, karena kebudayaan adalah idea
perekat masyarakat dalam menemukan sistem nilai.
Kultur berfikir dan paradigma masyarakat kita yang masih
diselubungi oleh (meminjam istilah Paulo Freire): kesadaran magis (Magical Consciousness) dan kesadaran
naïf (Naival Consciousness). Olehnya,
paradigma tersebut harus diubah menjadi kesadaran kritis (critical consciousness). Perubahan kultur dan paradigma berfikir
ini dimungkinkan jika komunitas masyarakat secara komunal mulai menggali
kembali falsafah, sisi religius dan spiritualitas ketimuran sebagai sebuah
wasiat kebudayaan harus dikembalikan. Maka yang harus dilakukan adalah
penguatan kembali dan membangkitkan budaya lokal kita sebagai countervailing culture (budaya tanding)
untuk menandingi budaya konsumerisme yang sarat akan eksploitasi hegemoni, dan
ekspansi kapital. Minimal, tidak hanya larut dalam transaksi budaya yang semakin
‘liar’, sedangkan didalamnya justru memiliki keterbatasan sosial yang sangat memprihatinkan.
Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan pada Harian Fajar
Mantab bloknya, salam budaya...
BalasHapusSalam balik p.sugeng.. Makasih ats apresiasinya..
BalasHapus