DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Kamis, 13 September 2012

TRANSAKSI BUDAYA DIBALIK KETERBATASAN SOSIAL


Oleh: Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi

 Pertemuan budaya senantiasa membentuk sistem nilai, terlepas benar dan salahnya selaku manusia, hal demikian menjadi fenomena menarik dalam pengkajian analitis kebudayaan dewasa ini. Mengapa tidak, rotasi peradaban selalu progresif menemukan penciptaan model baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk stimulus pemenuhan selera dan pencitraan sebagai sebuah penegasan strata sosial, karena bagaimanapun fenomena kebudayaan adalah transaksi nilai dan makna.  

Kemelekan Budaya (cultural literachy)

Kemelekan budaya yang banyak diperankan oleh masyarakat dewasa ini, tidak terpas dari sugesti industri hiburan dan gaya hidup. Disamping mudah ditiru, juga terdapat keriangan tersendiri bagi penikmatnya. Sikap egalitarian gaya hidup tersebut malah tidak terikat oleh status sosial, karena yang hanya dibutuhkan adalah kemelekan budaya. Sejauhmana masyarakat mampu meniru dan mem- permak seindah mungkin pola-pola hidup yang sudah diisapi oleh narasi industri yang begitu besar. Kesadaran tersebut lahir dari fantasi dan pesona pencitraan manusia semata, bukan dari kesadaran hidup manusia selaku manusia.
Dalam realitas sosial, tidak asing ditemukan sebuah pemaksaan pola-pola hidup masyarakat. Mengapa tidak, adegan fiktif dalam tayangan sinetron senantiasa menampilkan kehidupan glamour tanpa jenjang dan proses yang meliputinya, seolah-olah kehidupan elitis sangat mudah ditampilkan sebagai salahsatu identitas yang bernilai. Yang menjadi persoalan adalah, realitas kehidupan masyarakat saat ini sangat jauh fantasi ideal dalam tayangan media. Masyarakat kita mengalami keterpurukan pendidikan dan ekonomi yang cukup memprihatinkan. Dengan sugesti tayangan media, masyarakat senantiasa bertindak tanpa proses, sehingga wajar saja kita temukan beragam bentuk insidental dalam fenomena sosial yang irrasional, seperti bunuh diri, penipuan melalui pemalsuan identitas, sampai pada konflik horizontal, pada dasarnya semua bersumber dari pemaksaan identitas dalam menggapai hasrat material yang kontradiksi dengan tayangan media selama ini. Keterbatasan potensi dan nilai-nilai keilmuan sepertinya terkubur dengan jalan pintas yang ditawarkan oleh media sebagai komoditas industri yang hanya melahirkan kesadaran palsu.
Kemelekan budaya tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mengetahui berbagai merek atau pola gaya yang lagi trend, namun dibutuhkan sebuah kemampuan untuk memiliki atau membeli. Tentu kemampuan yang satu ini hanya dimiliki oleh segelintir orang. Di sinilah artifak budaya pop menjadi lahan komodifikasi hatta wilaya sakral pun dapat menjadi wilayah profan bahkan wilayah kegaiban sebagai ruang penghayatan menjadi ruang hiburan dan lelucon. Semua ruang tersebut menjadi ‘ngepop’ kalau perlu Tuhan sekalipun di-pop-kan.
Di sisi lain budaya konsumerismepun mewabah. Dalam budaya konsumerisme, Produk dibeli bukan didasarkan pada kebutuhan dan azas manfaat akan tetapi lebih pada gengsi agar disebut modern. Komoditas produksi digantikan oleh komoditas budaya dengan penonjolan simbol dan identitas modernitas. Komoditas diproduksi bukan didasarkan pada kebutuhan masyarakat akan tetapi kebutuhanlah yang diciptakan agar masyarakat merasa butuh untuk mengkonsumsi komoditas.

Membuka Kesadaran Sosial

Menurut Antonio Gramsci bahwa penjajahan saat ini tidak dilakukan dengan kasat mata melalui pemaksaan secara fisik dan senjata, akan tetapi dilakukan melalui penjajahan pemikiran, dimana pihak yang terjajah “menikmati” penjajahan tersebut. Sedangkan teori orientalisme Edward W. Said menyebutnya bahwa timur saat ini dikepung dari segala arah dengan pemikiran dan ekspansi budaya barat yang diperteguh oleh media, melalui bidang akademik, politik dan terlebih lagi dari segi ekonomi. Cita rasa, selera, gaya hidup, dan bahkan pemikiran masyarakat timur diubah sedemikian rupa sehingga mereka tercerabut dari akar budayanya, serta mengikuti budaya yang diimpor dari barat. Masyarakat timur dipasung agar mereka menganggap bahwa budaya dan peradaban timur terbelakang dan peradaban barat adalah peradaban yang lebih tinggi - modern yang harus diikuti. Maka tak pelak lagi dis-orientasi pembangunan peradaban timurpun terjadi karena paradigma yang digunakan tidak berbasis pada realitas. Usaha untuk membutakan masyarakat timur dari kondisi realitas yang mereka hadapi dilakukan sedemikian rupa.

Dalam tulisan ini, saya tidak menjustifikasi bahwa progresifitas peradaban adalah kesalahan budaya yang harus dihindari. Namun terlebih pada sejauhmana transformasi budaya tersebut mengedepankan sistem nilai dan norma-norma sosial yang berlandaskan identitas kearifan budaya (cultur values). Setidaknya tayangan media yang banyak dijadikan sebagai jargon-jargon kehidupan masyarakat, harus lebih mengutamakan visualisasi education-culture. Membuka kesadaran budaya melalui fakta sosial, yang kemudian berangsur-angsur menjadi kajian ontologism dalam meluruskan orientasi peradaban yang lebih baik, karena kebudayaan adalah idea perekat masyarakat dalam menemukan sistem nilai.
Kultur berfikir dan paradigma masyarakat kita yang masih diselubungi oleh (meminjam istilah Paulo Freire): kesadaran magis (Magical Consciousness) dan kesadaran naïf (Naival Consciousness). Olehnya, paradigma tersebut harus diubah menjadi kesadaran kritis (critical consciousness). Perubahan kultur dan paradigma berfikir ini dimungkinkan jika komunitas masyarakat secara komunal mulai menggali kembali falsafah, sisi religius dan spiritualitas ketimuran sebagai sebuah wasiat kebudayaan harus dikembalikan. Maka yang harus dilakukan adalah penguatan kembali dan membangkitkan budaya lokal kita sebagai countervailing culture (budaya tanding) untuk menandingi budaya konsumerisme yang sarat akan eksploitasi hegemoni, dan ekspansi kapital. Minimal, tidak hanya larut dalam transaksi budaya yang semakin ‘liar’,  sedangkan didalamnya justru memiliki  keterbatasan sosial yang sangat memprihatinkan.

Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan  pada Harian Fajar

2 komentar: