DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Kamis, 16 Desember 2010

’PANGNGADERENG’ : WASIAT KEBUDAYAAN YANG HILANG

Ditulis Oleh:  Muh. Faisal MRa
Dosen UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi

Harus diakui bahwa kompleksitas sistem nilai dannorma-norma kebudayaan saat ini telah mengalami degradasi naratif. Prilakuhedonis, instan, materialistik dan individualis seolah-olah mempertegas hadirnyasyncretism culture, dalam tinjauanterminologi yaitu hilangnya kebudayaan lokal dan munculnya kebudayaan baru. Carutmarutnya prilaku kehidupan berbangsa dan bernegara senantiasa berimplikasi darisistem nilai dan norma-norma yang telah melekat dalam falsafah hidup masyarakatkita. Konflik kepentingan sosial, lemahnya sistem hukum dan kerancuan etikapolitik telah menjadi hidangan keseharian bangsa ini, tanpa disadari bahwa kitatelah melupakan falsafah kebudayaan dan kearifan lokal yang diwasiatkan paraleluhur sebagai sebuah sistem yang bermartabat. Wasiat kebudayaan tentu tidak hadirbegitu saja, tetapi lahir berdasarkan hierarki histories kehidupan pada masalampau. Pranata sosial saat ini sejatinya menilik tatanan kebudayaan yang saratdengan falsafah adat istiadat, agar kesalahan sejarah tidak terulang dalamkehidupan saat ini.

Mengenal Wasiat Pangngadereng

Mattulada dalam 'Latoa' mengisyaratkan tentang pranata sosial masyarakat SulawesiSelatan yang disebut dengan panggadereng (bahasaBugis) dan pangngaadakkang (bahasaMakassar). Pranata sosialdalam pangngadereng yang dimaksud meliputi;Adak (adat kebiasaan), Rapang (persamaan hukum), Bicara (undang-undang), Wari (pelapisan dan status sosial) dan sarak (syariat). Sebagaimana halnyastruktur pemerintahan kerajaan, maka unsur-unsur pangadakkang pun yang telah ada sebelumnya tetap berlanjut setelahIslam diterima sebagai agama negara. Islam hanya memperkaya dengan menambahkansatu unsur yang disebut Sarak (syariat). Sebagai pranata Islam, sarak diakui sebagai salah satu unsur penyempurnaan struktur pemerintahanSulawesi Selatan pada masa lampau. Penerimaan Islam sebagai agama resmi negara merupakan babak baru dalam peradabandi kebudayaan di Sulawesi Selatan, setelah beberapa periode pemerintahan tidakditemukan perubahan yang mendasar. Sayangnya, kompleksitas kebudayaan yang mengikatlima sistem sosial tersebut di atas seolah-olah telah ditinggalkan olehperadaban kebudayaan kekinian. Padahal jika ditelusuri berdasarkan falsafahkebudayaan,  panggadereng merupakan sistem nilai dan norma-norma masyarakat dalammenjalankan hubungan kolektivitas. Sebuah hubungan interaksi sosial-budaya yangmembentuk harmonisasi, yaitu serangkaian khasanah kebudayaan lokal yangsenantiasa menekankan aspek kesantunan, etika politik, penegakan maupunkesamaan hukum dan penanaman nilai spiritualitas masyarakat. Sistem panggadereng merupakan sebuah kompleksitas kekayaandan kearifan budaya yang tidak hadir begitu saja, tapi terbentuk setelah mampu memecahkebuntuan transformasi sosial (hierarkihistoria). Olehnya, bangunan wasiat panggadereng senantiasa menjadi sebuah energi bagi masyarakat apabilakesadaran micro cosmos (manusia) terefleksikan melalui pesan-pesan macro cosmos(alam). Bahwasanya ada ketentuan-ketentuan alam dan spritualitas yang membangun etika dan moralitas masyarakat, termasukhadirnya falsafah keseimbangan (balancing)dalam sistem kehidupan masa lampau. Falsafahkeseimbangan inilah yang senantiasa hilang dalam generasi keilmuan saat ini.Jika di cina dikenal dengan konsep YingYang sebagai suatu kompleksitas kehidupan, maka di Bugis-Makassar dikenaldengan konsep Sulapa Appa'. Sebuah wujud kesempurnaan manusia dalam mengungkaprahasia-rahasia alam dan kehidupan.

Distorsi Makna

Dari simplikasi di atas, muncul sebuah pertanyaan,bagaimana dengan sistem dan pranata sosial saat ini..?? Pasca kolonialisme,sistem dan pranata tersebut berangsur-angsur mengalami pergeseran dan akulturasi.Peranan sistem demokrasi dan lembaga pemerintahan legislatif, eksekutif danyudikatif (trias politica) maupunbentuk-bentuk asosiasi sosial lainnya cenderung menanggalkan pesan-pesan wasiatpanggadereng. Persekutuan mafia peradilan, hilangnya keteladanan kepemimpinan sampaikepada penjarahan kekayaan bangsa melalui kompetisi korupsi, hanya mampumelebur kedalam kajian-kajian tekstual belaka tanpa diikuti oleh komitmenkolektivitas. Kenapa tidak, pranata dan sistem sosial kita adalah sebuah produkkapital yang meligitimasi kelas-kelas sosial tertentu dalam memenuhi hasratkekuasaan dan kemudian secara berangsur-angsur diikuti oleh prilaku masyarakatkita. Budaya saling memanusiakan, saling menghormati dan saling mengingatkantidak lagi berlaku dalam pementasan politik Bangsa ini, karena yang terbentukadalah 'politik katak' yaitu untuksampai keatas, harus menendang kebawah. Salahsatunya adalah Starategik black campign yang merupakan suatuisntrumen penentu keberhasilan dalam memperoleh kekuasaan. Fakta realitas yangterjadi pada bangsa ini telah menjadi sebuah budaya, secara harfiah merupakansuatu idea, asumsi maupuninterpretasi manusia yang diikuti dengan prilaku sosial. Dari sinilah terjadidistorsi makna panggadereng yang menciptakangenerasi kapital dan budaya korup.
Menilik wacana tentang falsafah panggadereng di atas, tentu bukan suatu upaya formal dalammelakukan perubahan struktural di negeri ini, tapi bagaimana sistem nilai yangmengikat hubungan sosial kita mampu menerjemahkan konsep dan visioner panggadereng sebagai formulasipenataan pelayanan publik yang berkeadilan temasuk pembangunan manusia yangberkarakter. Disadari maupun tidak, harus diketahui bahwa ilmuAntropologi pada awal abad ke XX mengalami kemajuan, ilmu Antropologi dipergunakanoleh bangsa Eropa untuk mempelajari adat-istiadat dan kebiasaan bangsa yangterjajah. Dengan mengetahui data tentang kebiasaan itu dapat dipergunakan untukmempertahankan kolonialismenya di negara yang dijajah tersebut termasuk Bangsaini yang kita yakini sebagai bangsa yang merdeka. Bangsa ini harus menemukansekaligus mengembalikan wasiat kearifan lokal sebagai sebuah pertahanan arusglobalisasi yang di fatwakan oleh Negara-negara berkembang. Karena padadasarnya globalisasi tidak hanya dipandang sebagai sebuah kompetisi perdaganganbebas, tetapi sejauhmana bangsa ini mampu mempertahankan asset kebudayaan,termasuk pangngadereng sebagai sebuahwasiat kebudayaan yang telah hilang.

Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan  pada Harian Fajar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar