Oleh. Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar
Penggiat Antropologi dan Cultural Studies
Manusia merupakan aktor atau pelaku utama dalam
menciptakan kebudayaan, dimana dan kapapun dia senantiasa membentuk sisten nilai
dan sistem norma yang menjadi pedoman hidup dalam masyarakat di sekitarnya
termasuk di Sulawesi Selatan. Menurut Brownislaw Malinowsky bahwa untuk
memahami kebudayaan maka harus berangkat dari studi tentang Basic
need of Man (kebutuhan dasar manusia). Walaupun sebelumnya Imanuel Kant
telah mengkategorikannya dalam konsepsi antara subtansi dan aksidensi, yaitu
kebutuhan dan aksi. Namun pengkajian tentang manusia tersebut berkembang
berdasarkan narasi kebudayaan yang meliputinya, Dan inilah yang dimaksud dengan
peradaban manusia, ia senantiasa mengalami kemajuan setiap priodenya.
KONSEP TAU DALAM KEBUDAYAAN SUL-SEL
‘Tau’
atau ‘To’ dalam terminologi
Bugis-Makassar adalah manusia, dalam perspektif kebudayaan Sulawesi Selatan
dianjurkan memiliki sipa’ tau (sifat
manusia). Artinya bahwa karakteristik sifat manusia harus merujuk pada sistem
nilai dan norma-norma masyarakat Sulawesi Selatan. Konsep ‘tau’ dalam kebudayaan ini merupakan spirit dalam memperoleh wujud
kesempurnaan manusia yang biasa di simbolkan sebagai sulapa appa walasuji (segi empat belah ketupat) yang menurut
Mattulada dapat juga disimbolkan dengan huruf aksara lontara yaitu ‘sa’ yang dapat di artikan sebagai dewata seuwae (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam sistem kebudayaan disebutkan: ”Nikanaya sulapak appakna taua iami antu niak sirikna, niak paccekna,
niak pangngalikna, na todong pangngadakkangna”. Artinya : Yang disebut manusia berhati ‘sulapa appa’ yaitu
manusia yang memiliki harga diri, memiliki rasa kesetiakawanan, menghargai
orang lain dan memiliki sifat sopan santun. Dari simplikasi
tersebut maka ditemukan bahwa konsep ‘tau’ di Sulawesi Selatan pada dasarnya berimplikasi dari konsep ‘sulapa appa’, yang dapat diperoleh dari
‘magguru’ (belajar) dan massompe (merantau). Implementasi konsep
tesebut menghantarkan prilaku sipakatau (saling
memanusiakan), sipakalebbi (saling
memuliakan), sipakatuo (saling
menghidupi), dan sipakatokkong (saling
membantu). Sehingga jelas bahwa falsafah tersebut selain sebagai wasiat
kebudayaan, juga menjadi sebuah sistem nilai dalam pedoman hidup masyarakat
Sulawesi Selatan. Olehnya, wajar kemudian masyarakat Sulawesi Selatan dikenal memiliki
keunggulan diaspora (menyebar dan hidup
mandiri). Tidak sedikit masyarakat Sulawesi Selatan mencapai keberhasilan
dan kesuksesan di luar. Mereka berpijak pada prinsip-prinsip yang dianutnya
sebagai sebuah falsafah hidup. Namun demikian bukan berarti semua berhasil, ada
juga diantara beberapa diantaranya yang melebur dalam kehidupan yang justru
memalukan (mappakasiri). Olehnya
dituntut untuk memiliki konsep hidup sebagai sebuah falsafah kebudayaan; yaitu:
warani (berani), lempu (jujur), sugi
(kaya) dan acca (pintar).
Dalam
konsepsi Makassar tentang ‘tau’ adalah:
“Antu nikanaya tau akrupa –
rupai. Niak tau, tau tojeng. Niak tau poro tau. Niak tau, akkanaji natau”. Artinya : “Manusia itu bermacam – macam. Ada manusia,
benar – benar manusia. Ada manusia sekedar manusia. Ada manusia dikatakan
manusia karena ia dapat berbicara.” Dalam tulisan ini, maka dapat di uraikan
bahwa konsep manusia merupakan stimulus kebudayaan yang senantiasa membuktikan
kesempurnaan eksistensinya dan sejauhmana mereka mampu menafsirkan sistem
kebudayaan yang tidak sertamerta bergeser pada sistem kebudayaan yang telah
dilebur dari luar (akulturasi culture).
‘Tau’ dalam Konteks Kekinian
Kompleksitas
kehidupan sosial dewasa ini telah mengalami titik kulminasi, dimana kebutuhan
materi dan kekuasaan menjadi ‘produk baru’ yang senantiasa disembah dan dipuja. Kehadirannya
yang begitu cepat membutakan eksistensi ‘tau’
sebagai mahluk yang berbudaya. Implikasinya, melahirkan konflik kekerasan yang semakin
mempertegas bahwa didalam paradigma kita, telah tertanam ideology kapital yang
telah di konstruksi oleh narasi kebuyaan industrial. Sebuah narasi kapital yang
menjadikan stimulus manusia dalam menghilangkan falsafah dan kearifan budaya,
yang menurut menurut konsepsi Makassar disebut: Tau tena pannaggalana (orang yang tidak
memiliki tempat berpegang).
Harus
diakui bahwa masyarakat Sulawesi Selatan senantiasa di-identik-an dengan
konflik kekerasan, anarkisme dan tawuran, seolah-olah pencitraan tersebut
menjadi energi cultural bagi sebagian
besar masyarakat kita, baik dalam struktur pemerintahan, sistem politik, dunia
pendidikan dan terus mengakar sampai pada masyarakat luas. Pergeseran makna ‘tau’ kini berubah menjadi situasi ‘mappakatau-tau’ (kondisi yang
menakutkan). Jika kita bercermin
dalam perjalanan hiestoris, manusia
Bugis Makassar tidak mungkin bisa mencapai peradaban tinggi di masa lampau jika
hanya mengandalkan karakter: kasar, temperamental dan emosional. Tapi peradaban
tinggi tersebut dicapai dengan pengejewantahan prinsip-prinsip ‘pangngadereng’ sebagai sebuah pranata
sosial dimasa lampau, dimana termaktub didalamnya terdapat sistem nilai yang
disebut: Adak (adat kebiasaan), Rapang (persamaan hukum), Bicara
(undang-undang), Wari (pelapisan
dan status sosial) dan sarak
(syariat).
Simplifikasi diatas tentunya menghantarkan
kira untuk kembali menakar sistem kebudayaan saat ini yang semakin menakutkan (mappakatau-tau), kriminalitas dan
ketidak adilan menjadi sesuatu yang lumrah dalam fenomena sosial saat ini,
bahkan nyaris menjadi bagian dari gaya hidup (life style). Selanjutnya dalam lingkup geografis, lahan publik kini
telah di persempit berdasarkan pertukaran dan kompleksitas ekonomi. Setelah
karebosi di rampas oleh sebuah narasi kapital dengan penguatan regulasi yang
kokoh, selanjutnya Benteng Somba Opu mendapat giliran dalam mewujudkan program
ekonomi makro bangsa ini. Tidak menutup kemungkinan lahan publik yang lain berangsur-angsur
akan hilang ditelan percepatan ekonomi kapital, yang berangsur-angsur membentuk
paradigma hidup yang semakin jauh dari konsep ‘tau’. Implementasi ‘tau’ dalam konteks kekinian telah bergeser berdasarkan hasrat
kapital yang berujung pada hilangnya konsep sipakatau.
Masyarakat kini
senantiasa menampilkan simbol-simbol modernitas yang dipandang sebagai salah satu sarana efektif untuk
menyebarluaskan cita-cita dan gaya hidup ke tempat-tempat lainnya,
mempromosikan gaya hidup industrial, serta mengubah pola-pola konsumsi
masyarakat. Konsep ‘tau’ harus melihat Modernisme sebagai gerakan yang bertujuan
menafsirkan kembali falsafah tradisional, yang menyesuaikan dengan konsep antropologi, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan. ‘Tau’ merupakan proses transformasi, suatu perubahan
masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Bertambahnya ilmu pengetahuan merupakan
faktor terpenting dalam mewujudkan tau baji, ‘tau
tojeng’
(manusia baik, manusia yang sesungguhnya), menciptakan
tatanan masyarakat yang berbudaya yang sejahtera dan berkeadilan. Tidak melihat
kebudayaan dalam konteksnya
pengusangan makna intrinsik, yang hanya dilihat dari sekumpulan cerita kuno
yang tidak lagi memiliki korelasi dalam transformasi peradaban, apatah lagi bertindak secara pragmatis demi hasrat kapital yang justru
mengubah falsafah ‘tau’ menjadi perilaku
‘mappakatau-tau’.
Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan pada Harian Fajar
Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan pada Harian Fajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar