DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Rabu, 20 Juni 2012

FALSAFAH ‘TAU’ YANG ‘MAPPAKATAU-TAU’



Oleh. Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar
Penggiat Antropologi dan Cultural Studies

Manusia merupakan aktor atau pelaku utama dalam menciptakan kebudayaan, dimana dan kapapun dia senantiasa membentuk sisten nilai dan sistem norma yang menjadi pedoman hidup dalam masyarakat di sekitarnya termasuk di Sulawesi Selatan. Menurut Brownislaw Malinowsky bahwa untuk memahami kebudayaan maka harus berangkat dari studi tentang  Basic need of Man (kebutuhan dasar manusia). Walaupun sebelumnya Imanuel Kant telah mengkategorikannya dalam konsepsi antara subtansi dan aksidensi, yaitu kebutuhan dan aksi. Namun pengkajian tentang manusia tersebut berkembang berdasarkan narasi kebudayaan yang meliputinya, Dan inilah yang dimaksud dengan peradaban manusia, ia senantiasa mengalami kemajuan setiap priodenya.

KONSEP TAU DALAM KEBUDAYAAN SUL-SEL

‘Tau’ atau ‘To’ dalam terminologi Bugis-Makassar adalah manusia, dalam perspektif kebudayaan Sulawesi Selatan dianjurkan memiliki sipa’ tau (sifat manusia). Artinya bahwa karakteristik sifat manusia harus merujuk pada sistem nilai dan norma-norma masyarakat Sulawesi Selatan. Konsep ‘tau’ dalam kebudayaan ini merupakan spirit dalam memperoleh wujud kesempurnaan manusia yang biasa di simbolkan sebagai sulapa appa walasuji (segi empat belah ketupat) yang menurut Mattulada dapat juga disimbolkan dengan huruf aksara lontara yaitu ‘sa’ yang dapat di artikan sebagai dewata seuwae (Tuhan Yang Maha Esa). Dalam sistem kebudayaan disebutkan: ”Nikanaya sulapak appakna taua iami antu niak sirikna, niak paccekna, niak pangngalikna, na todong pangngadakkangna”. Artinya : Yang disebut manusia berhati ‘sulapa appa’ yaitu manusia yang memiliki harga diri, memiliki rasa kesetiakawanan, menghargai orang lain dan memiliki sifat sopan santun. Dari simplikasi tersebut maka ditemukan bahwa konsep ‘tau’ di Sulawesi Selatan pada dasarnya berimplikasi dari konsep ‘sulapa appa’, yang dapat diperoleh dari ‘magguru’ (belajar) dan massompe (merantau). Implementasi konsep tesebut menghantarkan prilaku sipakatau (saling memanusiakan), sipakalebbi (saling memuliakan), sipakatuo (saling menghidupi), dan sipakatokkong (saling membantu). Sehingga jelas bahwa falsafah tersebut selain sebagai wasiat kebudayaan, juga menjadi sebuah sistem nilai dalam pedoman hidup masyarakat Sulawesi Selatan. Olehnya, wajar kemudian masyarakat Sulawesi Selatan dikenal memiliki keunggulan diaspora (menyebar dan hidup mandiri). Tidak sedikit masyarakat Sulawesi Selatan mencapai keberhasilan dan kesuksesan di luar. Mereka berpijak pada prinsip-prinsip yang dianutnya sebagai sebuah falsafah hidup. Namun demikian bukan berarti semua berhasil, ada juga diantara beberapa diantaranya yang melebur dalam kehidupan yang justru memalukan (mappakasiri). Olehnya dituntut untuk memiliki konsep hidup sebagai sebuah falsafah kebudayaan; yaitu: warani (berani), lempu (jujur), sugi (kaya) dan acca (pintar).
Dalam konsepsi Makassar tentang ‘tau’ adalah: “Antu nikanaya tau akrupa – rupai. Niak tau, tau tojeng. Niak tau poro tau. Niak tau, akkanaji natau”. Artinya : “Manusia itu bermacam – macam. Ada manusia, benar – benar manusia. Ada manusia sekedar manusia. Ada manusia dikatakan manusia karena ia dapat berbicara.” Dalam tulisan ini, maka dapat di uraikan bahwa konsep manusia merupakan stimulus kebudayaan yang senantiasa membuktikan kesempurnaan eksistensinya dan sejauhmana mereka mampu menafsirkan sistem kebudayaan yang tidak sertamerta bergeser pada sistem kebudayaan yang telah dilebur dari luar (akulturasi culture).

‘Tau’ dalam Konteks Kekinian

Kompleksitas kehidupan sosial dewasa ini telah mengalami titik kulminasi, dimana kebutuhan materi dan kekuasaan menjadi ‘produk baru’ yang senantiasa disembah dan dipuja. Kehadirannya yang begitu cepat membutakan eksistensi ‘tau’ sebagai mahluk yang berbudaya. Implikasinya, melahirkan konflik kekerasan yang semakin mempertegas bahwa didalam paradigma kita, telah tertanam ideology kapital yang telah di konstruksi oleh narasi kebuyaan industrial. Sebuah narasi kapital yang menjadikan stimulus manusia dalam menghilangkan falsafah dan kearifan budaya, yang menurut menurut konsepsi Makassar disebut: Tau tena pannaggalana (orang yang tidak memiliki tempat berpegang).
Harus diakui bahwa masyarakat Sulawesi Selatan senantiasa di-identik-an dengan konflik kekerasan, anarkisme dan tawuran, seolah-olah pencitraan tersebut menjadi energi cultural  bagi sebagian besar masyarakat kita, baik dalam struktur pemerintahan, sistem politik, dunia pendidikan dan terus mengakar sampai pada masyarakat luas. Pergeseran makna ‘tau’ kini berubah menjadi situasi ‘mappakatau-tau’ (kondisi yang menakutkan). Jika kita bercermin dalam perjalanan hiestoris, manusia Bugis Makassar tidak mungkin bisa mencapai peradaban tinggi di masa lampau jika hanya mengandalkan karakter: kasar, temperamental dan emosional. Tapi peradaban tinggi tersebut dicapai dengan pengejewantahan prinsip-prinsip ‘pangngadereng’ sebagai sebuah pranata sosial dimasa lampau, dimana termaktub didalamnya terdapat sistem nilai yang disebut: Adak (adat kebiasaan), Rapang (persamaan hukum), Bicara (undang-undang), Wari (pelapisan dan status sosial) dan sarak (syariat). 

Simplifikasi diatas tentunya menghantarkan kira untuk kembali menakar sistem kebudayaan saat ini yang semakin menakutkan (mappakatau-tau), kriminalitas dan ketidak adilan menjadi sesuatu yang lumrah dalam fenomena sosial saat ini, bahkan nyaris menjadi bagian dari gaya hidup (life style). Selanjutnya dalam lingkup geografis, lahan publik kini telah di persempit berdasarkan pertukaran dan kompleksitas ekonomi. Setelah karebosi di rampas oleh sebuah narasi kapital dengan penguatan regulasi yang kokoh, selanjutnya Benteng Somba Opu mendapat giliran dalam mewujudkan program ekonomi makro bangsa ini. Tidak menutup kemungkinan lahan publik yang lain berangsur-angsur akan hilang ditelan percepatan ekonomi kapital, yang berangsur-angsur membentuk paradigma hidup yang semakin jauh dari konsep ‘tau’. Implementasi ‘tau’ dalam konteks kekinian telah bergeser berdasarkan hasrat kapital yang berujung pada hilangnya konsep sipakatau. Masyarakat kini senantiasa menampilkan simbol-simbol modernitas yang dipandang sebagai salah satu sarana efektif untuk menyebarluaskan cita-cita dan gaya hidup ke tempat-tempat lainnya, mempromosikan gaya hidup industrial, serta mengubah pola-pola konsumsi masyarakat. Konsep ‘tau’ harus melihat Modernisme sebagai gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali falsafah tradisional, yang menyesuaikan dengan konsep antropologi, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Tau merupakan proses transformasi, suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Bertambahnya ilmu pengetahuan merupakan faktor terpenting dalam mewujudkan tau baji, ‘tau tojeng’ (manusia baik, manusia yang sesungguhnya), menciptakan tatanan masyarakat yang berbudaya yang sejahtera dan berkeadilan. Tidak melihat kebudayaan dalam konteksnya pengusangan makna intrinsik, yang hanya dilihat dari sekumpulan cerita kuno yang tidak lagi memiliki korelasi dalam transformasi peradaban, apatah lagi bertindak secara pragmatis demi hasrat kapital yang justru mengubah falsafah ‘tau’ menjadi perilaku ‘mappakatau-tau’.

Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan  pada Harian Fajar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar