DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Kamis, 07 Juni 2012

'HANTU-HANTU' TRANSAKSIONAL PADA PEREKRUTAN TENAGA PENDIDIK


Oleh : Muh. Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar / Peneliti Cultural Studies

Hampir setiap tahunnya penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilakukan oleh setiap daerah. Jumlahnyapun meningkat tiap tahunnya, jumlah yang sangat fantastis. Jika kita telusuri, kecenderungan masyarakat yang mengejar simbol-simbol pencitraan dengan status Pegawai Negeri Sipil, kini mengeras menjadi hasrat yang berlebihan, sehingga beragam simplikasi metodik dihalalkan walau dengan bayaran yang jumlahnya tidak sedikit, apatahlagi jika memiliki hubungan garis keturunan terhadap pejabat birokrat, tentu legitimasi penjaringan dengan mudahnya berpihak pada kita; sekaligus penegasan atas matinya legitimasi keilmuan. Illustrasi ini tidak lagi asing dalam budaya kompetitif kita, karena harus diakui bahwa realitas ini tidak hanya terjadi dalam wilayah struktural tapi juga pada masyarakat kita sebagai obyek sekaligus pelaku. Selanjutnya tradisi ’jual-beli’ tersebut juga menghiasi penerimaan tenaga pengajar (baca:guru dan dosen) di lembaga pendidikan yang sudah berlangsung sejak lama.
Setelah disahkannya undang-undang guru dan dosen, yakni Undang-Undang No.14 Tahun 2005, profesi guru dan dosen kembali menjadi perhatian dikalangan banyak pihak, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun dikalangan pemerhati pendidikan. Mengapa tidak, kehadiran undang-undang tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban bagi guru dan dosen. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Sayangnya, kehadiran undang-undang ini menemui banyak kendala dalam implementasinya, bahkan Rektor UGM (Sofian Effendi) pernah mengatakan bahwa undang-undang guru dan dosen hanyalah sebuah pepesan kosong kalau urgensi dan subtansinya tidak realistis diarahkan kepada peningkatan kesejahteraan (gaji) guru dan dosen. Dari simplikasi tersebut maka wajar sebagian besar masyarakat memilih untuk menjadi guru maupun dosen, karena disamping iming-iming kesejahteraan yang besar, juga terdapat kelemahan regulasi perekrutan yang cukup lemah. Walaupun harus diakui secara sadar bahwa, tidak sedikit yang kecewa atas hasil penjaringan yang berpedoman pada kekuatan struktur nepotisme, otoritas dan uang.


Kelemahan Regulasi dan Implementasi

Realitas perekrutan atau penerimaan guru dan dosen, mayoritas masih jauh dari khittah keilmuan yang wajib melekat pada seorang pendidik. Sulit di pungkiri bahwa kualitas pendidikan seolah-olah menjadi prioritas belakangan, yang terpenting adalah sejauhmana nilai konstribusi jasa dan material yang dimiliki mempengaruhi hasil seleksi. Jika diamati, kompleksitas antara tradisi dan regulasi perekrutan tenaga pengajar saling berkorelasi negatif. Misalnya, pada saat penerimaan dilakukan, tes yang digunakan masih bersifat konvensional (seperti tes multiple choise maupun interview) yang masih berpeluang menciptakan rekayasa dan ‘hidden deal’. Richard Gordon Hall (Trainer Education asal Amerika) menegaskan bahwa salah satu kelemahan penjaringan tenaga pengajar di Indonesia adalah tatalaksana seleksi yang berjalan terbalik. Richard menganalogikan bahwa di Indonesia nanti setelah lolos menjadi tenaga pengajar (baca:guru dan dosen) baru bisa mengusulkan sertifikasi guru dan dosen, sedangkan di Negara lain termasuk di Amerika; calon pengajar di sertifikasi lebih awal baru kemudian layak menjadi tenaga pengajar yang diakui berdasarkan keilmuan dan prestasi. Simplikasi tersebut tentu bukan berarti kita mengadopsi tatalaksana perekrutan yang dilakukan di Negara lain, tapi setidaknya kondisi faktual pendidikan kita membutuhkan regulasi yang ideal dalam mewujudkan kualitas pendidikan yang tidak berpihak pada kepentingan dan legitimasi politis. Dari simplikasi tersebut maka wajar Kasubdit Analis Pasar Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sri Indarti menyimpulkan bahwa Harmonisasi antara dunia kerja dan pendidikan saat ini semakin mengkhawatirkan lantaran kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Dari 116 juta jiwa angkatan kerja di Indonesia, sebanyak 8,59 juta adalah penganggur. Lulusan perguruan tinggi menyumbang cukup banyak, yaitu sekitar 14,24 juta jiwa. Sebuah fakta buah kisruh pendidikan yang sudah terjadi sejak lama. 

Aset Yang Terbuang

“Guru Kencing berdiri, murid kecing berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dan dosen dalam dunia pendidikan. Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di Indonesia, saat itu pula banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga pengajar (guru dan dosen), dan sebagainya.  Secara umum guru dan dosen merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun demikian, posisi strategis guru dan dosen untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesionalnya. Bisa dibayangkan jika pendidikan saat ini hanya dikendalikan oleh guru dan dosen yang dilahirkan dan dibesarkan dari rahim para ‘pedagang perekrutan pengajar’, tentunya anak didik juga akan terbentuk menjadi ‘pedagang intelektual’ yang memfokuskan diri pada aspek keuntungan  dan kepentingan. Sedangkan disisi lain, tempat bagi mereka yang memiliki asset keilmuan yang besar hanya mampu menyesalkan hidangan kebudayaan tersebut yang telah mengeras menjadi karakter sosial. Saya teringat dengan sahabat saya yang harus menerima kekalahannya dalam penerimaan dosen disalah satu Perguruan Tinggi Negeri di Makassar, karena harus berhadapan dengan istri pimpinan fakultas dan kemanakan pimpinan Universitas, yang dianulir melalui rekayasa hasil tes. Saat ini sahabat saya tersebut sukses melakukan riset penelitian program doctoral di Australia sekaligus ditempatkan pada posisi strategis di Victoria University.
Dari pendataan yang dilakukan oleh Ikatan Pelajar Indonesia di Luar Negeri menyebutkan bahwa hampir sebagian besar tingkat kecerdasan mahasiswa pelajar Indonesia di Luar Negeri memiliki potensi akademik yang luar biasa di bandingkan dengan Negara lain. Tapi yang lebih ironisnya, sangat sedikit yang dapat diterima bekerja setelah pulang ke Indonesia. Olehnya, wajar sehingga para intelektual muda kita memilih mengabdikan diri di Negara lain seperti di Amerika. Jerman dan Australia ketimbang di Negeri sendiri. Sungguh paradigma keliru yang harus diterima dengan penuh rasa malu, sambil menyaksikan hidangan kebijakan dengan hadirnya regulasi ‘jual beli’. Keresahan tersebut membentuk re-generasi yang panjang terhadap hadirnya 'hantu-hantu' transaksional dalam perekrutan tenaga pendidik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar