Oleh : Muh.
Faisal MRa
Dosen FKIP UNISMUH Makassar / Peneliti
Cultural Studies
Hampir setiap tahunnya penerimaan Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dilakukan oleh setiap daerah. Jumlahnyapun meningkat tiap
tahunnya, jumlah yang sangat fantastis. Jika kita telusuri, kecenderungan
masyarakat yang mengejar simbol-simbol pencitraan dengan status Pegawai Negeri
Sipil, kini mengeras menjadi hasrat yang berlebihan, sehingga beragam simplikasi
metodik dihalalkan walau dengan bayaran yang jumlahnya tidak sedikit,
apatahlagi jika memiliki hubungan garis keturunan terhadap pejabat birokrat,
tentu legitimasi penjaringan dengan mudahnya berpihak pada kita; sekaligus
penegasan atas matinya legitimasi keilmuan. Illustrasi ini tidak lagi asing
dalam budaya kompetitif kita, karena harus diakui bahwa realitas ini tidak
hanya terjadi dalam wilayah struktural tapi juga pada masyarakat kita sebagai
obyek sekaligus pelaku. Selanjutnya tradisi ’jual-beli’
tersebut juga menghiasi penerimaan tenaga pengajar (baca:guru dan dosen) di
lembaga pendidikan yang sudah berlangsung sejak lama.
Setelah disahkannya undang-undang guru dan dosen, yakni
Undang-Undang No.14 Tahun 2005, profesi guru dan dosen kembali menjadi perhatian
dikalangan banyak pihak, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan maupun
dikalangan pemerhati pendidikan. Mengapa tidak, kehadiran undang-undang
tersebut telah menambah wacana baru akan dimantapkannya hak-hak dan kewajiban
bagi guru dan dosen. Di antara hak yang paling ditunggu-tunggu selama ini
adalah adanya upaya perbaikan kesejahteraan bagi guru dan dosen. Sayangnya,
kehadiran undang-undang ini menemui banyak kendala dalam implementasinya,
bahkan Rektor UGM (Sofian Effendi)
pernah mengatakan bahwa undang-undang guru dan dosen hanyalah sebuah pepesan
kosong kalau urgensi dan subtansinya tidak realistis diarahkan kepada
peningkatan kesejahteraan (gaji) guru
dan dosen. Dari simplikasi tersebut maka wajar sebagian besar masyarakat memilih
untuk menjadi guru maupun dosen, karena disamping iming-iming kesejahteraan
yang besar, juga terdapat kelemahan regulasi perekrutan yang cukup lemah. Walaupun
harus diakui secara sadar bahwa, tidak sedikit yang kecewa atas hasil
penjaringan yang berpedoman pada kekuatan struktur nepotisme, otoritas dan uang.
Kelemahan Regulasi dan Implementasi
Aset Yang Terbuang
“Guru Kencing berdiri, murid kecing
berlari”. Pepatah ini dapat memberi kita
pemahaman bahwa betapa besarnya peran guru dan dosen dalam dunia pendidikan.
Pada saat masyarakat mulai menggugat kualitas pendidikan yang dijalankan di
Indonesia, saat itu pula banyak hal terkait yang harus dibenahi. Masalah sarana
dan prasarana pendidikan, sistem pendidikan, kurikulum, kualitas tenaga
pengajar (guru dan dosen), dan
sebagainya. Secara umum guru dan dosen
merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas hasil pendidikan. Namun
demikian, posisi strategis guru dan dosen untuk meningkatkan mutu hasil
pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesionalnya. Bisa dibayangkan
jika pendidikan saat ini hanya dikendalikan oleh guru dan dosen yang dilahirkan
dan dibesarkan dari rahim para ‘pedagang perekrutan
pengajar’, tentunya anak didik juga akan terbentuk menjadi ‘pedagang intelektual’ yang memfokuskan
diri pada aspek keuntungan dan
kepentingan. Sedangkan disisi lain, tempat bagi mereka yang memiliki asset
keilmuan yang besar hanya mampu menyesalkan hidangan kebudayaan tersebut yang
telah mengeras menjadi karakter sosial. Saya teringat dengan sahabat saya yang
harus menerima kekalahannya dalam penerimaan dosen disalah satu Perguruan
Tinggi Negeri di Makassar, karena harus berhadapan dengan istri pimpinan
fakultas dan kemanakan pimpinan Universitas, yang dianulir melalui rekayasa
hasil tes. Saat ini sahabat saya tersebut sukses melakukan riset penelitian
program doctoral di Australia sekaligus ditempatkan pada posisi strategis di
Victoria University.
Dari
pendataan yang dilakukan oleh Ikatan Pelajar Indonesia di Luar Negeri
menyebutkan bahwa hampir sebagian besar tingkat kecerdasan mahasiswa pelajar
Indonesia di Luar Negeri memiliki potensi akademik yang luar biasa di
bandingkan dengan Negara lain. Tapi yang lebih ironisnya, sangat sedikit yang
dapat diterima bekerja setelah pulang ke Indonesia. Olehnya, wajar sehingga para
intelektual muda kita memilih mengabdikan diri di Negara lain seperti di
Amerika. Jerman dan Australia ketimbang di Negeri sendiri. Sungguh paradigma
keliru yang harus diterima dengan penuh rasa malu, sambil menyaksikan hidangan
kebijakan dengan hadirnya regulasi ‘jual beli’. Keresahan tersebut membentuk re-generasi yang panjang terhadap hadirnya 'hantu-hantu' transaksional dalam perekrutan tenaga pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar