DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Minggu, 29 Juli 2012

HYPER VIRTUALITAS DAN GENERASI ILUSIF

Oleh: Muh Faisal MRa
Dosen FKIP Unismuh Makassar, Penggiat Antropologi / Cultural Studies

Generasi muda merupakan masa depan sejarah yang akan menentukan transformasi kebudayaan sosial. Olehnya, proyeksi tentang titik masa depan bangsa ini dapat dilihat dari kecendrungan sistem nilai yang digunakan oleh pemuda saat ini. Dalam tinjauan perkembangan manusia menurut Jean Piaget; seorang filsuf/psikolog perkembangan anak bahwa, pertumbuhan fisik manusia senantiasa diikuti oleh perkembangan kognitifnya. Anak senantiasa menggunakan lingkungan sebagai instrumen pembentuk, baik secara emosional terlebih pada aspek kognisi.
 Berkembangnya pemikiran dan konstruksi positivisme mempertegas hilangnya romantika gaya pemikiran klasik, hal tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya pemikiran baru di awal abad ke XX, termasuk estetika. Periode tersebut dikenal dengan zaman Post-Modern. 
Paradigma Ilusif

Meningkatnya sarana jejaring sosial menjadi salahsatu variabel utama dalam melengkapi efektifitas interaksi manusia terhadap lingkungannya. Berdasarkan survey, Indonesia merupakan negara terbanyak mengkonsumsi jejaring sosial setelah Amerika dan Inggris. Konsumsi jejaring sosial sepertinya menjadi gerak pembaharu dalam menciptakan pemikiran dan gaya hidup yang semakin liar, terutama pada generasi muda. Komunikasi facebook, twiter, chatting dan beragam bentuk jejaring sosial lainnya menjadi lahan ibadah yang  mempesona bagi generasi muda kini, walau sekali-kali menjadi mengutuk. Karena beberapa diantaranya tidak banyak menjadikannya sebagai lahan transformasi keilmuan dan ekspansi pencerahan moral-spiritual.
Dalam lingkungan sosial yang selalu berubah, terdapat setidaknya dua faktor yang memperngaruhi perubahan sosial, yaitu pelaku perubahan dan mereka yang terkena dampak perubahan. Dalam kaitan ini tekhnologi-informasi dapat berperan dalam dua posisi sekaligus, sebagai aktor (means) pengubah dan sekaligus sebagai sasaran (ends) dari perubahan yang ingin dicapai. Dalam tulisan ini, saya mencoba menilik peran jejaring sosial dalam proses terbentuknya pencitraan gaya hidup yang berimplikasi pada prilaku dekonstruksi moral yang sewaktu-waktu menular di setiap dimensi kearifan manusia, keterlelapan generasi muda lebih banyak terbuang untuk melakukan fantasi ilusif dan berusaha ‘membongongi’ fitrah dan khittahnya sebagai mahluk sosial yang berbudaya dengan fasilitas jejaring sosial, dari sini pula peluang hadirnya makna ambiguitas sistem nilai pada generasi kita. Komunikasi jejaring sosial lebih banyak digunakan untuk malakukan rekayasa fisik maupun psikis. Tipuan pencitraan melekat untuk memperoleh status kelas-kelas sosial tertentu, bahwa popularitas dan pesona materialistik menjadi bagian yang bernilai tinggi bahkan nyaris melebihi agama sekalipun. Kondisi mampu dan tidak mampu dalam memiliki teknologi tersebut menjadi penyebab awal (primal causal) dari kesenjangan ekonomi - sosial. Bagi yang mampu menghasilkan teknologi apalagi memanfaatkan teknologi memiliki peluang yang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi, sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton.
Pada dasarnya situs-situs media sosial cenderung membawa generasi muda untuk membangun ‘hubungan semu sesaat’ yang membawa mereka tidak dapat mengatasi persoalan ketika jaringan sosial mereka kolaps. Internet dan mobile-device bisa membentuk komunitas ‘dehumanisasi’. Situs-situs tersebut dapat memberi kontribusi kepada tren dari anak-anak muda yang mementingkan kuantitas atau jumlah teman daripada kualitas pertemanan. Di antara anak-anak muda seringkali faktor penyebab dalam bunuh diri adalah trauma atas hubungan yang semu.
Menurut pandangan strukturalis yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant bahwa, masing-masing tahap mewakili perkembangan dan pemahaman sang anak tentang realitas. Perkembangan dari satu tahap ke tahap yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman manusia tentang lingkungannya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran.

Masuknya Periode Ilusi (The Illusion)

                Berdasarkan tinjauan psikologi, ilusi biasa terjadi karena disebabkan oleh rasa takut dan panik, fanatisme yang berlebihan dan keresahan yang berkepanjangan. Jika dikaitkan dengan  perkembangan high modernity saat ini, ilusi terjadi disebabkan oleh dua aspek: Yang Pertama: hilangnya kesadaran atas eksistensi diri dalam perkembangan lingkungan sosial. Misalnya, rasa takut jika tidak lagi mampu bersolek, berbaur dengan kehidupan hedonis, pergaulan bebas sampai pada rasa takut karena tidak mampu lagi menunjukkan keistimewaan dan kelebihan material. Hal tersebut tidak luput pula dari prilaku para elit kita yang korupsi secara berjamaah. Mengapa tidak, implikasi kompetisi perebutan kekuasaan tidak terlepas dari hadirnya jiwa ilutif yang senantiasa takut teralienasi dalam kekuasaan dan jabatan, jika perlu anak dan istripun harus menjadi jembatan estafet kekuasaan selanjutnya. Yang Kedua: Kegelisahan atas penghasilan perekonomian yang semakin terpuruk. Kemiskinan dan pengangguran yang semakin membengkak pada ruang dan waktu memberikan peluang terciptanya keterpaksaan prilaku kekerasan, penipuan, pelacuran dan penggadaian harga diri. Bentuk kriminalitas sosial senantiasa meningkat seiring dengan terbentuknya fantasi dan ilusi masyarakat yang meresahkan, kriminalitas yang cenderung makin impulsif dan ”berkualitas”.
Priode ilusi ini, tidak terlepas pula dari kompleksitas peradaban yang serba instant. Dengan ketersediaan produksi industri, seolah-olah priode ini menuntut menghasilkan sesuatu yang baru dalam perkembangan sosial dengan didasari oleh fantasi dan sugesti. Kebutuhan masyarakat yang dimanja oleh narasi tekhnologi-informasi, membentuk ilusi gagasan yang kemudian merebak secara irrasional, sehingga etika dan norma hiduppun juga terkadang irrasional. Kebohongan atas identitas melalui jejaring sosial berangsur-angsur mengeras menjadi karakter pembohongan atas sikap dan tanggung jawabnya sebagai manusia. Bagaimana cara dan gaya kebohongan penegak/aparat hukum dalam memainkan materi-materi hukum demi konspirasi dan kepentingan kekuasaan, bagaimana kebohongan para pemimpin dalam memberikan kesenangan semu kepada masyarakat, bagaimana pemuda-pemudi kita melakukan kebohongan atas identitas dirinya demi hasrat dan kesenangan, selanjutnya bagaimana masyarakat kita melakukan kebohongan atas kesadarannya melebur dalam bentuk kehidupan konsumtifis. Tentunya narasi ini menuntut kita untuk meletakkan kembali tata nilai kearifan manusia yang sebenar-benarnya, membentuk sedini mungkin generasi kritis dan bermoral terhadap percepatan arus tekhnologi-informasi, sampai pada akhirnya mentalitas masyarakat siap menerima perkembangan informasi yang lebih baik. Jangan sampai kita justru menjadi pengikut dalam memberikan konstribusi hadirnya priode ilusif yang semakin ‘liar’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar