Dosen FKIP Unismuh Makassar, Penggiat Antropologi / Cultural Studies
Generasi muda merupakan masa depan sejarah yang akan menentukan
transformasi kebudayaan sosial. Olehnya, proyeksi tentang titik masa depan
bangsa ini dapat dilihat dari kecendrungan sistem nilai yang digunakan oleh
pemuda saat ini. Dalam tinjauan perkembangan manusia menurut Jean Piaget; seorang
filsuf/psikolog perkembangan anak bahwa, pertumbuhan fisik manusia senantiasa
diikuti oleh perkembangan kognitifnya. Anak senantiasa menggunakan lingkungan
sebagai instrumen pembentuk, baik secara emosional terlebih pada aspek kognisi.
Berkembangnya pemikiran dan konstruksi positivisme mempertegas hilangnya romantika gaya pemikiran klasik, hal tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya pemikiran baru di awal abad ke XX, termasuk estetika. Periode tersebut dikenal dengan zaman Post-Modern.
Berkembangnya pemikiran dan konstruksi positivisme mempertegas hilangnya romantika gaya pemikiran klasik, hal tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya pemikiran baru di awal abad ke XX, termasuk estetika. Periode tersebut dikenal dengan zaman Post-Modern.
Paradigma Ilusif
Meningkatnya sarana jejaring
sosial menjadi salahsatu variabel utama dalam melengkapi efektifitas interaksi
manusia terhadap lingkungannya. Berdasarkan survey, Indonesia merupakan negara
terbanyak mengkonsumsi jejaring sosial setelah Amerika dan Inggris. Konsumsi jejaring
sosial sepertinya menjadi gerak pembaharu dalam menciptakan pemikiran dan gaya
hidup yang semakin liar, terutama pada generasi muda. Komunikasi facebook,
twiter, chatting dan beragam bentuk jejaring sosial lainnya menjadi lahan
ibadah yang mempesona bagi generasi muda
kini, walau sekali-kali menjadi mengutuk. Karena beberapa diantaranya tidak banyak
menjadikannya sebagai lahan transformasi keilmuan dan ekspansi pencerahan
moral-spiritual.
Dalam lingkungan sosial yang
selalu berubah, terdapat setidaknya dua faktor yang memperngaruhi perubahan
sosial, yaitu pelaku perubahan dan mereka yang terkena dampak perubahan. Dalam
kaitan ini tekhnologi-informasi dapat berperan dalam dua posisi sekaligus,
sebagai aktor (means) pengubah dan
sekaligus sebagai sasaran (ends) dari
perubahan yang ingin dicapai. Dalam tulisan ini, saya mencoba menilik peran
jejaring sosial dalam proses terbentuknya pencitraan gaya hidup yang
berimplikasi pada prilaku dekonstruksi moral yang sewaktu-waktu menular di setiap
dimensi kearifan manusia, keterlelapan generasi muda lebih banyak terbuang
untuk melakukan fantasi ilusif dan berusaha ‘membongongi’ fitrah dan khittahnya
sebagai mahluk sosial yang berbudaya dengan fasilitas jejaring sosial, dari
sini pula peluang hadirnya makna ambiguitas
sistem nilai pada generasi kita. Komunikasi jejaring sosial lebih banyak digunakan
untuk malakukan rekayasa fisik maupun psikis. Tipuan pencitraan melekat untuk
memperoleh status kelas-kelas sosial tertentu, bahwa popularitas dan pesona materialistik
menjadi bagian yang bernilai tinggi bahkan nyaris melebihi agama sekalipun. Kondisi
mampu dan tidak mampu dalam memiliki teknologi tersebut menjadi penyebab awal (primal causal) dari kesenjangan ekonomi
- sosial. Bagi yang mampu menghasilkan teknologi apalagi memanfaatkan teknologi
memiliki peluang yang lebih besar untuk mengelola sumber daya ekonomi,
sementara yang tidak memiliki teknologi harus puas sebagai penonton.
Pada dasarnya situs-situs media
sosial cenderung membawa generasi muda untuk membangun ‘hubungan semu sesaat’ yang membawa mereka tidak dapat mengatasi
persoalan ketika jaringan sosial mereka kolaps. Internet dan mobile-device bisa membentuk komunitas ‘dehumanisasi’. Situs-situs
tersebut dapat memberi kontribusi kepada tren dari anak-anak muda yang
mementingkan kuantitas atau jumlah teman daripada kualitas pertemanan. Di
antara anak-anak muda seringkali faktor penyebab dalam bunuh diri adalah trauma
atas hubungan yang semu.
Menurut pandangan strukturalis
yang dipengaruhi oleh filsuf Immanuel Kant bahwa, masing-masing tahap mewakili perkembangan
dan pemahaman sang anak tentang realitas. Perkembangan dari satu tahap ke tahap
yang lainnya disebabkan oleh akumulasi kesalahan di dalam pemahaman manusia
tentang lingkungannya; akumulasi ini pada akhirnya menyebabkan suatu tingkat
ketidakseimbangan kognitif yang perlu ditata ulang oleh struktur pemikiran.
Masuknya Periode Ilusi (The Illusion)
Berdasarkan tinjauan
psikologi, ilusi biasa terjadi karena disebabkan oleh rasa takut dan panik,
fanatisme yang berlebihan dan keresahan yang berkepanjangan. Jika dikaitkan
dengan perkembangan high modernity saat ini, ilusi terjadi disebabkan oleh dua aspek: Yang Pertama: hilangnya kesadaran atas
eksistensi diri dalam perkembangan lingkungan sosial. Misalnya, rasa takut jika
tidak lagi mampu bersolek, berbaur dengan kehidupan hedonis, pergaulan bebas
sampai pada rasa takut karena tidak mampu lagi menunjukkan keistimewaan dan
kelebihan material. Hal tersebut tidak luput pula dari prilaku para elit kita yang
korupsi secara berjamaah. Mengapa tidak, implikasi kompetisi perebutan kekuasaan
tidak terlepas dari hadirnya jiwa ilutif yang senantiasa takut teralienasi
dalam kekuasaan dan jabatan, jika perlu anak dan istripun harus menjadi
jembatan estafet kekuasaan selanjutnya. Yang
Kedua: Kegelisahan atas penghasilan perekonomian yang semakin terpuruk. Kemiskinan
dan pengangguran yang semakin membengkak pada ruang dan waktu memberikan peluang
terciptanya keterpaksaan prilaku kekerasan, penipuan, pelacuran dan penggadaian
harga diri. Bentuk kriminalitas sosial senantiasa meningkat seiring dengan terbentuknya
fantasi dan ilusi masyarakat yang meresahkan, kriminalitas yang cenderung makin
impulsif dan ”berkualitas”.
Priode ilusi ini, tidak terlepas
pula dari kompleksitas peradaban yang serba instant. Dengan ketersediaan produksi
industri, seolah-olah priode ini menuntut menghasilkan sesuatu yang baru dalam
perkembangan sosial dengan didasari oleh fantasi dan sugesti. Kebutuhan
masyarakat yang dimanja oleh narasi tekhnologi-informasi, membentuk ilusi
gagasan yang kemudian merebak secara irrasional, sehingga etika dan norma
hiduppun juga terkadang irrasional. Kebohongan atas identitas melalui jejaring
sosial berangsur-angsur mengeras menjadi karakter pembohongan atas sikap dan
tanggung jawabnya sebagai manusia. Bagaimana cara dan gaya kebohongan penegak/aparat
hukum dalam memainkan materi-materi hukum demi konspirasi dan kepentingan
kekuasaan, bagaimana kebohongan para pemimpin dalam memberikan kesenangan semu
kepada masyarakat, bagaimana pemuda-pemudi kita melakukan kebohongan atas
identitas dirinya demi hasrat dan kesenangan, selanjutnya bagaimana masyarakat kita
melakukan kebohongan atas kesadarannya melebur dalam bentuk kehidupan konsumtifis.
Tentunya narasi ini menuntut kita untuk meletakkan kembali tata nilai kearifan
manusia yang sebenar-benarnya, membentuk sedini mungkin generasi kritis dan
bermoral terhadap percepatan arus tekhnologi-informasi, sampai pada akhirnya
mentalitas masyarakat siap menerima perkembangan informasi yang lebih baik. Jangan
sampai kita justru menjadi pengikut dalam memberikan konstribusi hadirnya
priode ilusif yang semakin ‘liar’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar