Oleh. Muh. Faisal MRa
Dosen UNISMUH Makassar / Penggiat Antropologi
Setelah
menganalisis tulisan Muh. Iqbal Latief (Dosen Sosiologi Unhas) yang
berjudul ‘Nestapa Kemiskinan (Juga) Tanggung Jawab DPRD’ di Harian Fajar
Edisi 9 Mei 2012. Saya semakin curiga bahwa asumsi maupun persepsi
terhadap fenomena sosial terutama kemiskinan senantiasa berpijak pada
patron pemikiran pragmatis. Dikatakan pragmatis dikarenakan analisis
wacana yang dilahirkan justru tidak lagi menjadi otokritik terhadap
konsep pembangunan termasuk sistem kepemimpinan. Yang perlu diingat
bahwa otokritik memberikan dampak positif terhadap sekelumit persoalan
Bangsa, dengan catatan bahwa pendistribusian kritikan tersebut
merepresentasikan realitas dengan menggunakan dalil informasi yang
merujuk pada ilmu pengetahun. Apalagi Muh. Iqbal Latief merupakan
penggerak ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, saya pikir tidak akan
membantah simplifikasi ini apabila menggunakan dalil yang tepat.
Standar Kemiskinan yang Keliru
Variabel sesungguhya
dalam topik ini adalah ‘kemiskinan’, mestinya penguraian wacana tersebut
harus mampu memecahkan masalah kemiskinan secara holistik dan ilmiah,
agar masyarakat Sul Sel dapat bangkit dalam pembangunan sektorialnya.
Namun dalam tulisan Muh. Iqbal Latief cenderung melenceng bahkan
disarati dengan aspek keberpihakan. Padahal sesungguhnya kita ketahui
bahwa Keilmuan sosiologi mestinya harus netral menilik fenomena sosial
sekaligus kelemahan peran-peran lembaga pemerintahan dewasa ini. Maka
dari itu, jika dikatakan bahwa peran antara eksekutif dan legislatif
harus sinergi dalam memecahkan persoalan kemiskinan, maka kita telah
mengakui bahwa tingkat kemiskinan di Sul Sel adalah persoalan yang
sangat signifikan (dengan jumlah kondisi miskin masih sekitar 835 ribu
jiwa dengan jumlah penduduk Sul Sel di atas 8 juta jiwa). Yang perlu
saya sampaikan saat ini adalah standar yang digunakan Bangsa ini dalam
kategori kondisi miskin rata-rata berpenghasilan 220 ribu per-bulan
(sumber: Data BPS dan litbang kompas). Sebuah sistem standarisasi
pencitraan atas nama keberhasilan pemerintahan dalam meredam tingkat
kemiskinan dengan ukuran yang tidak realistis. Jika saja standar yang
digunakan misalnya 500 ribu perbulan, bisa dibayangkan besaran
kemiskinan di Negeri ini. Standar tersebut juga digunakan secara
nasional dengan menyimpulkan bahwa penduduk miskin Indonesia berjumlah
30,02 juta jiwa atau 12% dari total penduduk Indonesia. Dalam tulisan
Muh. Iqbal Latief menyebutkan bahwa kemiskinan tidak hanya menjadi isu
lokal, tapi sudah menjadi isu global. Olehnya patut direnungkan bahwa
standarisasi yang digunakan dengan Bangsa lain sangatlah berbeda, yang
tentunya berimplikasi dari besaran persentase kemiskinan di Indonesia,
termasuk di Sul Sel.
Berikan Solusi
Kita harus
mengakui bahwa, pembangunan Bangsa untuk keluar dari masalah kemiskinan
tidak hanya sebatas penyusunan perda maupun tata kelola pemerintahan.
Namun terlebih dari itu yang utama adalah perbaikan mental. Pemerintah
yang telah membuat tiga Klaster Program Penanggulangan Kemiskinan, bila
tanpa memperbaiki mental masyarakat, mungkin hanya akan seperti menabur
gula di laut. Rasa airnya takkan pernah menjadi manis. Mental masyarakat
seperti itulah yang harus dibangun, bisa lewat kurikulum pendidikan di
sekolah/kampus, lewat tontonan televisi yang mendidik, atau lewat
berbagai media lainnya, hal ini juga senada dengan apa yang pernah
ditanggapi oleh Ari Maulana. Tapi pemerintah dengan program BLT-nya
(sekarang diganti menjadi Program Keluarga Harapan) justru seperti
melestarikan budaya meminta-minta. Menyuruh si miskin antri hanya demi
uang yang mungkin habis kurang dari sebulan. Selanjutnya pemerintah
harus memiliki kebijakan yang menafkahi. Jangan bermimpi pemberdayaan
bila si miskin masih lapar. Lalu yang terakhir pemerintah harus memiliki
kebijakan yang memberdayakan. Pemerintah sebenarnya telah melakukan
kebijakan yang memberdayakan dengan program PNPM Mandiri dan KUR yang
merupakan bagian dari klaster II dan III Program Penanggulangan
Kemiskinan, namun itu saja belum cukup. Persaingan usaha yang tidak
berimbang dengan dominannya hypermarket yang dibangun berdekatan dengan
pasar tradisional, atau hadirnya banyak minimarket di pelosok kampung,
membuat banyak pedagang pasar dan warung terengah-engah. Harga yang
kalah murah, membuat para pedagang kecil tersebut harus banyak berharap
pada pembeli yang memiliki kepedulian tinggi, pembeli yang lebih memilih
memberdayakan pedagang kecil daripada menambah kekayaan para pemodal
super kaya.
Dari
simplifikasi di atas, maka saatnya kita tidak lagi saling melempar
tanggung jawab dalam menangani persoalan kemiskinan. Karena kemiskinan
itu, juga ada pada diri kita dengan wujud yang lain. Dimulai dari
kemiskinan mental, nurani, psikologi sampai pada kemiskinan budaya yang
kini kita nikmati dengan bentuk keterjajahan baru (neo-kolonial).
Olehnya Muh Iqbal Latief sebaiknya menguraikan wacana kemiskinan,
berikut dengan aspek mendasar yang dapat diberikan sebagai sebuah
pemecahan masalah. Bukan berdiri pada aspek kepentingan semata, yang
berujung pada pelemparan tanggung jawab. Dari sini ‘komedi putar’
politik berjalan dengan tanpa meninggalkan sesuatu yang subtansial,
termasuk kemiskinan. Persoalan kemiskinan membutuhkan penanganan serius.
Coba kita lihat bagaimana kriminalisasi dan pengangguran yang
menyisakan harapan. Disisi lain pemerintah ribut soal gaji
masing-masing, lebih baik mereka mencontoh Nelson Mandela yang ketika
memimpin Afrika Selatan, membuat kebijakan memotong gajinya sendiri demi
menghemat anggaran negara. Disisi lain pemberantasan korupsi harus
tanpa pandang bulu yang tentunya juga dapat menyelamatkan APBD, sehingga
jatah subsidi rakyat dapat ditingkatkan. Saya pikir hal inilah yang
harus dibangun dalam mengejewantahkan nilai-nilai kebudayaan
Bugis-Makassar dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Karena spirit
sipakatau lahir dari nurani dan mentalitas manusia, termasuk dalam
menyelesaikan problematika kemiskinan yang melanda Bangsa ini. Sehingga
untuk berbuat minimal kita mampu memahami bahwa nestapa kemiskinan ada
pada diri kita.
(Tulisan ini juga pernah diterbikan di Harian Fajar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar