PARADIGMA FASHION DIBALIK ‘DISKUSI’ KAMPUS
Oleh: Muh. Faisal MRA
Dosen FKIP
Unismuh Makassar
Penggiat Antropologi - Cultural Studies
Pertumbuhan intelektual mahasiswa tentu berbeda dengan tingkat pertumbuhan kognisi anak di sekolah tingkat pertama atau menengah. Mahasiswa memulai perjalanan akademik dikampus rata-rata dimulai pada umur 17 tahun ke atas. Jika menilik teori Jean Pageat, seorang tokoh strukturalis yang banyak memberikan konsep psikologi pendidikan; bahwa perkembangan intelektual pada umur 17 tahun merupakan tahap operasional formal. Artinya bahwa dalam tahapan ini, manusia berusaha mencari dan menemukan hal-hal yang bersifat abstraksi, membangun ide-ide baru melalui refleksi memorinya mempertegas eksistensinya berdasarkan sikap dan pola pikirnya. Keinginan untuk menciptakan perubahan dalam hidupnya senantiasa sejalan dengan perkembangan lingkungannya. Jika kita menghubungkan konsep tersebut dengan fenomena kehidupan dalam suasana akademik (kampus) tentu menarik untuk diperbincangkan, karena kampus adalah ‘laboratorium keilmuan’ atau sebuah miniatur kehidupan sosial yang didalamnya memiliki iklim keilmuan dalam mengkonstruksi proposisi sistem nilai. Sehingga apabila kampus sudah menanggalkan khasanah dan nilai-nilai keilmuannya, maka dari situpulalah awal keruntuhan masa depan Bangsa ini. Dan sebaliknya, manakala kampus mampu merepresentasikan kebenaran, menemukan makna dalam setiap tanda, mengolah informasi berdasarkan ilmu pengetahuan dan mewujudkan kreatifitas melalui riset yang produktif. Maka dari sini pulalah awal kebangkitan peradaban Bangsa yang lebih baik.
Dari
simplifikasi tersebut, maka sejatinya kampus sebagai lahan garapan disiplin
keilmuan mampu melahirkan suasana discussion. Membentuk suatu kebudayaan akademik
yang sarat dengan perubahan progresif. Dengan diskusi, mahasiswa akan
senantiasa beraktualisasi dan mencari nilai-nilai kebenaran berdasarkan
perkembangan analisisnya, sekaligus mempercepat dinamisasi kampus yang lebih
positif. Namun disisi lain, diskusi berbeda dengan dogma. Dogma justru lebih
berpotensi mendekonstruksi paradigma seseorang, apalagi tanpa analisis
konstruktif-holistik. Dogma ataupun agitasi bisa saja mengendalikan
rasionalisasi menjadi irrasinalistik, menggeserkan sikap etik menjadi tidak
etis, mendistorsifkan harmonisasi menjadi anarkisme. Sedangkan diskusi adalah
salah satu upaya pendistribusian pengetahuan melalui interpersonal dalam
menemukan proposisi nilai. Sekali lagi, diskusi adalah sebuah jalan menuju
perbaikan dan pembentukan sikap yang produktif. Sehingga dapat dibayangkan,
seperti apa masa depan kampus apabila tidak ada lagi interaksi keilmuan melalui
diskusi.
Retakan Narasi Kebudayaan
Sulit
disangkal dalam percepatan ruang dan waktu, animo discussion dalam kampus kini
dilemahkan dalam suatu bentuk narasi yang begitu besar. Secara berangsur-angsur
narasi ini memberikan stimulus yang besar kepada setiap generasi manusia dalam memperteguh
‘ekstasi hidup’, yaitu suatu dorongan yang senantiasa mencari kenikmatan berdasarkan
komoditas ‘hidangan politik’, ekonomi (iklan, gaya hidup), seks dan hiburan. Dari
sini terjadi kemabukan sosial, dan kemabukan telah melampaui batas norma dan
kaidah-kaidah hidup manusia. Fenomena kampus, seolah tak berdaya dengan
kekuatan narasi itu, disamping terjebak dalam arus cyberspace yang menjanjikan pencitraan, juga kebiasaan gosip,
jilbab gaul dan sikap individualistik kini menjadi komoditas kebudayaan baru
yang semakin meningkat. Nilai2 keterpesonaan saat ini telah melampaui
nilai-nilai logika, sehingga nilai keterpesonaan tersebut membentuk budaya
konsumerisme. Dunia konsumerisme adalah medan tempat pelepasan hasrat akan
objek-objek dan kesenangan tanpa akhir. Didalamnya seseorag dikonstruksi untuk
dapat mengikuti arus produksi dan reproduksi hasrat. Dengan mengkonsumsi tanda,
citra dn objek-objek yang diperbaharui penampilanx (tidak otentik) secara terus
menerus. Kita menjadi bagian konsumeris karna nilai-nilai keterpesonaan yg
ditawarkan begitu kuat. Shingga terdapt pemujaan image, gaya, gaya hidup,
tontonan dan identitas. Pergantian produk begitu cepat silih berganti, yg kini
menciptakan model kehidupan yang senantiasa memuja sifat kesementaraan, setelah
itu berganti pada sifat dan produk yg baru. Saya pikir inilah kesemntaraan
materi dan fashion yg bersifat horizontal.
Keadaan ‘ekstasi hidup’,
juga membuat kemiskinan dan pengangguran menular dengan kecepatan tinggi,
membengkak tanpa ada yg mampu membendungnya. Inilah kepungan dromologi budaya (percepatan-kecepatan budaya) yang telah
mengikis peran-peran keilmuan dalam kesadaran kolektif. Dromologi budaya sepertinya tidak mempedulikan lagi proses
pembentukan jati diri mahasiswa, bahkan seolah hidup dengan esensi kenikmatan
semata. Kini dunia hiburan menguasai pikiran dan persepsi seseorang, didalamnya
yang banal (hiburan) menguasai yang esensial (kerja, ibadah dan bakti). Artinya
energi waktu, pikiran dan uang kini lebih banyak dihabiskan untuk dunia banal
hiburan ketimbang dunia esensial kerja dan diskusi. Dulu hiburan untuk
melepaskan diri sejenak dalam kepenatan kerja (refresing), kini dunia hiburan telah menyita seluruh waktu,
pikiran dan uang demi kesenangan yang sejenak. Tentunya, harapan bagi kita
adalah lahirnya menara gading yang
mampu mencerahkan sistem hidup yang begitu kompleks, termasuk persoalan Negeri
yang berdiri dalam retakan-retakan kebudayaan. Saatnya kampus menjadi lokomotif
perubahan dalam menjawab persoalan Bangsa melalui konstribusi karya yang lahir
dari discussion. Kita harus memulai didalam kampus, hanya
civitas akademikalah satu-satunya harapan yang mampu mewujudkan keteraturan (order) sistem nilai di Negeri ini.
Dari
simplifikasi diatas, maka eksistensi kampus kini dikepung oleh kekuatan narasi
atau konsep tentang pandangan hidup yang dihidangkan berdasarkan kepentingan
hasrat. Arus kepentingan ini sudah saatnya disikapi berdasarkan alur logika keilmuan yang
tepat, agar tidak terseret lebih jauh dalam legitimasi gaya hidup yang bersifat
sesaat. Kesementaraan tersebut melemahkan kekuatan prinsip keilmuan yang
tentunya juga bersifat sesaat pula, termasuk pergerakan mahasiswa yang belum
tuntas dalam wacana sosial-politik dewasa ini. Yaitu sebuah analisis wacana
sosial yang bersifat sementara, dan setelah itu bergulir kearah wacana yang
lain. Pergerakan aksioner mahasiswa silih berganti, seperti pergantian wacana
fashion dengan tempo yang sangat cepat. Tentunya kini kita dapat berharap
hadirnya sebuah kekuatan idealisme keilmuan dalam menakar wacana perubahan. Semua
tentu harus berawal dari pengungkapan kausalistas dari paradigma fashion,
legitimasi gaya hidup dan ‘diskusi’ kampus.
Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan pada Harian Fajar
Cat: Tulisan ini juga pernah di publikasikan pada Harian Fajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar