Dengan melihat deretan kasuistik dan perubahan hakikat cultural yang melanda kedua bangsa ini (Indonesia vs
Malaysia), menuntut kita untuk
menakar kembali secara holistik peranan kebudayaan serumpun sebagai sebuah hubungan
keluarga yang tidak jauh dari ketentuan-ketentuan istiadat sebagai sebuah
sistem sosial. Secara harfiah, budaya serumpun adalah suatu sistem kebudayaan
yang memiliki nenek moyang yang sama. Kesamaan darah keturunan tentunya
berimplikasi pada kesamaan genetika yang kemudian melahirkan aspek behaviour
dalam melahirkan suatu tradisi dan sistem nilai. Simplikasi diatas tentunya
membuat kita menarik suatu pertanyaan besar. Mengapa sistem nilai yang
terbangun dalam kedua kebudayaan tersebut justru banyak menghasilkan kesenjangan
struktural maupun kesenjangan cultural, bahkan sampai kepada kesenjangan
geografis yang justru merugikan tata
nilai dan norma-norma kebudayaan itu sendiri. Hadirnya kesenjangan tersebut membentuk
suatu asumsi bahwa kedua bangsa ini mengalami degradasi kearifan budaya dan kerancuan
tata letak sistem nilai. Pergeseran tersebut tidak terlepas dari jejak
akulturasi sistem global yang membuka jalan menuju ekspansi ideologi kapital. Karena
harus disadari bahwa, perubahan kebudayaan senantiasa dilandasi oleh beberapa aspek, termasuk polarisasi masyarakat dalam perubahan
pola hidup. Dan selanjutnya diperkuat oleh sistem dan pranata sosial yang tidak
lagi menjamin hak-hak keamanan, keadilan dan kesejahteraan bangsa. Menurut R.
Brown terjadinya ketimpangan antara struktur dan fungsi, yang kemudian dikenal
dengan teori struktural-fungsional.
Aksi Multirasis
Malaysia
Perbedaan dalam tahap pencapaian ekonomi merupakan masalah
besar di Malaysia, dimana terdapat ketegangan dan kaum yang termarginalkan. Ras-ras
di Malaysia khususnya etnis cina yang jumlahnya 25 persen dan India 10 persen saling
berhubungan dan bergantung satu sama lain, dan dari sini Malaysia merasa aman
dan sekaligus diuntungkan dari segi pencapaian pertumbuhan ekonomi. Di suatu
sisi dunia politik domestik Malaysia semakin rasis seiring dengan semakin
terdesaknya kubu penguasa barisan nasional. Sehingga wajar Mantan perdana
menteri Malaysia; Mahathir Muhammad, seperti yang dikutip dari berita The Malaysian Insider, mengingatkan
warga Melayu untuk bersatu atau akan kehilangan negara mereka.
Asosiasi India seperti UMNO, MIC dan Asosiasi Tionghoa
sepeti MCA bukan tidak mungkin akan menguasai Barisan Nasional, karena siapapun
boleh maju dalam pemilu asal mereka mewakili kepentingan Malaysia. Jika
ditelusuri, maka kemungkinan kepentingan ras di Malaysia akan mengendalikan
kebijakan Nasional, termasuk kebijakan ekspansi kebudayaan dan wilayah maritim
Indonesia-Malaysia. Olehnya, fenomena pluralisme dan multi rasis Malaysia tentunya
memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam setiap dinamika persoalan yang
menerpa kedua negara ini (Indonesia-Malaysia). Disisi lain Indonesia seolah ragu dan memilih
jalan diplomasi melihat kekuatan multi ras yang telah memperkuat posisi
pertahanan Malaysia. Dari sini, kita dapat menelaah secara rasional bahwa
budaya serumpun hampir sebatas ikatan emosional cultural belaka, tanpa hadirnya
kekuatan kebijakan yang mampu melahirkan kemitraan terpadu secara struktural.
Penggadaian
Martabat Indonesia
Wajar saja harkat dan martabat tergadaikan, ketika need and want masyarakat sudah tidak
lagi dapat dihidangkan dalam sistem sosial kita. Negeri ini seolah-olah
disibukkan oleh kepentingan kekuasaan yang khas dengan konspirasi maupun
koalisi. Pemimpin bangsa ini selalu saja menjadikan rakyat sebagai pilar utama
dalam menciptakan suatu perubahan. Mereka
lupa bahwa perubahan harus dimulai dari tata pemerintahan yang bersih dan
menciptakan birokrasi yang memberikan pelayanan yang berkeadilan bagi rakyatnya.
Negeri ini sesungguhnya kaya akan potensi alam dan lautnya, didalamnya terdapat
suatu kekayaan tak terduga yang membuat bangsa-bangsa lain terutama Negeri
Jiran menggunakan upaya ekspansi sektorial, seperti klaim khasanah kebudayaan,
letak wilayah batas maritim sampai pada karya seni. Mengapa tidak, berdasarkan
survei, kekayaan negeri ini terdiri dari 17.504 Pulau (yang
didalamnya terdapat kekayaan yang sangat luar biasa), 10.068 suku bangsa, 615
bahasa 3.025 spesies binatang, 47.000 jenis tumbuhan, 300 gaya seni tari dan
485 lagu daerah. Tapi sayangnya anak negeri kita justru terlilit rantai
kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya kian meningkat setiap tahunnya. Dari Analis Pasar Kerja Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa 116 juta jiwa angkatan kerja di
Indonesia, sebanyak 8,59 juta adalah penganggur. Demi kelangsungan hidup saja,
masyarakat kita rela menggadaikan martabat dan harga diri dengan jalan menjadi
TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di beberapa belahan bumi ini, terutama di Negeri
Jiran Malaysia. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar TKI di Malaysia tidak
memiliki kemampuan profesiologi dan bahkan tidak sedikit diantaranya minim dari
segi moral dan spritualitas yang kuat, hal tersebut berimplikasi dari beberapa
TKI yang menjadikan Negeri Jiran sebagai tempat pelarian dan persembunyian dari
jerat hukum kriminalitas. Sehingga atas beberapa peran media, kasus tersebut
menjadi komoditi primordialisme pemberitaan.
Simplikasi
diatas tidak lain untuk melihat persoalan secara holistik sebagai sebuah fakta
sosial. Bangsa Indonesia sejatinya melahirkan kekuatan patriotik NKRI yang mampu
hidup mandiri dari kekayaan alam dan berdiri diatas kharisma kearifan budaya.
Tidak secara berjamaah menghambakan diri didepan kekuasaan dan kekayaan demi
perut masing-masing. Saatnya regulasi dan pranata sosial menjadi sebuah rujukan
keadilan dan kesejahteraan Bangsa, bukan sebuah rujukan dalam melakukan
kompromi maupun konspirasi kapital yang semakin menjauhkan harkat dan martabat
Bangsa ini. Tidak hanya melihat secara sempit budaya serumpun antara martabat
dan keterbatasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar