DALAM MELIHAT ADA PERUBAHAN SIFAT, DALAM MENDENGAR ADA PERUBAHAN HAKIKAT: SELAMAT DATANG DI BLOG PUSTAKA KAMI

Minggu, 29 Juli 2012

BUDAYA SERUMPUN: ANTARA MARTABAT DAN KETERBATASAN

Oleh: Muh Faisal MRa
Dosen FKIP Unismuh Makassar
Penggiat Antropologi, Cultural Studies

Dengan melihat deretan kasuistik dan perubahan hakikat cultural yang melanda kedua bangsa ini (Indonesia vs Malaysia), menuntut kita untuk menakar kembali secara holistik peranan kebudayaan serumpun sebagai sebuah hubungan keluarga yang tidak jauh dari ketentuan-ketentuan istiadat sebagai sebuah sistem sosial. Secara harfiah, budaya serumpun adalah suatu sistem kebudayaan yang memiliki nenek moyang yang sama. Kesamaan darah keturunan tentunya berimplikasi pada kesamaan genetika yang kemudian melahirkan aspek behaviour dalam melahirkan suatu tradisi dan sistem nilai. Simplikasi diatas tentunya membuat kita menarik suatu pertanyaan besar. Mengapa sistem nilai yang terbangun dalam kedua kebudayaan tersebut justru banyak menghasilkan kesenjangan struktural maupun kesenjangan cultural, bahkan sampai kepada kesenjangan geografis yang justru  merugikan tata nilai dan norma-norma kebudayaan itu sendiri. Hadirnya kesenjangan tersebut membentuk suatu asumsi bahwa kedua bangsa ini mengalami degradasi kearifan budaya dan kerancuan tata letak sistem nilai. Pergeseran tersebut tidak terlepas dari jejak akulturasi sistem global yang membuka jalan menuju ekspansi ideologi kapital. Karena harus disadari bahwa, perubahan kebudayaan senantiasa dilandasi oleh beberapa aspek,  termasuk polarisasi masyarakat dalam perubahan pola hidup. Dan selanjutnya diperkuat oleh sistem dan pranata sosial yang tidak lagi menjamin hak-hak keamanan, keadilan dan kesejahteraan bangsa. Menurut R. Brown terjadinya ketimpangan antara struktur dan fungsi, yang kemudian dikenal dengan teori struktural-fungsional.

Aksi Multirasis Malaysia

Perbedaan dalam tahap pencapaian ekonomi merupakan masalah besar di Malaysia, dimana terdapat ketegangan dan kaum yang termarginalkan. Ras-ras di Malaysia khususnya etnis cina yang jumlahnya 25 persen dan India 10 persen saling berhubungan dan bergantung satu sama lain, dan dari sini Malaysia merasa aman dan sekaligus diuntungkan dari segi pencapaian pertumbuhan ekonomi. Di suatu sisi dunia politik domestik Malaysia semakin rasis seiring dengan semakin terdesaknya kubu penguasa barisan nasional. Sehingga wajar Mantan perdana menteri Malaysia; Mahathir Muhammad, seperti yang dikutip dari berita The Malaysian Insider, mengingatkan warga Melayu untuk bersatu atau akan kehilangan negara mereka.
Asosiasi India seperti UMNO, MIC dan Asosiasi Tionghoa sepeti MCA bukan tidak mungkin akan menguasai Barisan Nasional, karena siapapun boleh maju dalam pemilu asal mereka mewakili kepentingan Malaysia. Jika ditelusuri, maka kemungkinan kepentingan ras di Malaysia akan mengendalikan kebijakan Nasional, termasuk kebijakan ekspansi kebudayaan dan wilayah maritim Indonesia-Malaysia. Olehnya, fenomena pluralisme dan multi rasis Malaysia tentunya memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam setiap dinamika persoalan yang menerpa kedua negara ini (Indonesia-Malaysia).  Disisi lain Indonesia seolah ragu dan memilih jalan diplomasi melihat kekuatan multi ras yang telah memperkuat posisi pertahanan Malaysia. Dari sini, kita dapat menelaah secara rasional bahwa budaya serumpun hampir sebatas ikatan emosional cultural belaka, tanpa hadirnya kekuatan kebijakan yang mampu melahirkan kemitraan terpadu secara struktural.


Penggadaian Martabat Indonesia

Wajar saja harkat dan martabat tergadaikan, ketika need and want masyarakat sudah tidak lagi dapat dihidangkan dalam sistem sosial kita. Negeri ini seolah-olah disibukkan oleh kepentingan kekuasaan yang khas dengan konspirasi maupun koalisi. Pemimpin bangsa ini selalu saja menjadikan rakyat sebagai pilar utama dalam menciptakan suatu perubahan. Mereka  lupa bahwa perubahan harus dimulai dari tata pemerintahan yang bersih dan menciptakan birokrasi yang memberikan pelayanan yang berkeadilan bagi rakyatnya. Negeri ini sesungguhnya kaya akan potensi alam dan lautnya, didalamnya terdapat suatu kekayaan tak terduga yang membuat bangsa-bangsa lain terutama Negeri Jiran menggunakan upaya ekspansi sektorial, seperti klaim khasanah kebudayaan, letak wilayah batas maritim sampai pada karya seni. Mengapa tidak, berdasarkan survei, kekayaan negeri ini terdiri dari 17.504 Pulau (yang didalamnya terdapat kekayaan yang sangat luar biasa), 10.068 suku bangsa, 615 bahasa 3.025 spesies binatang, 47.000 jenis tumbuhan, 300 gaya seni tari dan 485 lagu daerah. Tapi sayangnya anak negeri kita justru terlilit rantai kemiskinan dan pengangguran yang jumlahnya kian meningkat setiap tahunnya. Dari Analis Pasar Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan bahwa 116 juta jiwa angkatan kerja di Indonesia, sebanyak 8,59 juta adalah penganggur. Demi kelangsungan hidup saja, masyarakat kita rela menggadaikan martabat dan harga diri dengan jalan menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di beberapa belahan bumi ini, terutama di Negeri Jiran Malaysia. Yang lebih ironis lagi, sebagian besar TKI di Malaysia tidak memiliki kemampuan profesiologi dan bahkan tidak sedikit diantaranya minim dari segi moral dan spritualitas yang kuat, hal tersebut berimplikasi dari beberapa TKI yang menjadikan Negeri Jiran sebagai tempat pelarian dan persembunyian dari jerat hukum kriminalitas. Sehingga atas beberapa peran media, kasus tersebut menjadi komoditi primordialisme pemberitaan.
Simplikasi diatas tidak lain untuk melihat persoalan secara holistik sebagai sebuah fakta sosial. Bangsa Indonesia sejatinya melahirkan kekuatan patriotik NKRI yang mampu hidup mandiri dari kekayaan alam dan berdiri diatas kharisma kearifan budaya. Tidak secara berjamaah menghambakan diri didepan kekuasaan dan kekayaan demi perut masing-masing. Saatnya regulasi dan pranata sosial menjadi sebuah rujukan keadilan dan kesejahteraan Bangsa, bukan sebuah rujukan dalam melakukan kompromi maupun konspirasi kapital yang semakin menjauhkan harkat dan martabat Bangsa ini. Tidak hanya melihat secara sempit budaya serumpun antara martabat dan keterbatasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar